Banjar Update
23 Agustus, 2024 12:08 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Sepanjang masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), terjadi beberapa aksi demonstrasi besar yang dipicu oleh berbagai isu.
Aksi demo besar terbaru berlangsung pada Kamis, 22 Agustus 2024, yang melibatkan berbagai kelompok. Aksi ini muncul sebagai respons atas kemarahan terhadap upaya DPR untuk mengesahkan RUU Pilkada.
Lembaga ini dianggap akan melawan keputusan Mahkamah Konstitusi yang melonggarkan batas elektoral partai yang bisa mencalonkan. Juga menegaskan batas umur calon minimal 30 tahun saat penetapan oleh KPU.
Demonstrasi tidak hanya terjadi di depan Gedung DPR RI, tetapi juga di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Selain di Jakarta, aksi unjuk rasa juga berlangsung di beberapa kota lainnya, seperti Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Demonstrasi ini merupakan bagian dari gerakan “Peringatan Darurat Indonesia” yang viral di media sosial usai DPR dianggap mengabaikan putusan MK.
Terkait demo kali ini, berikut aksi demo yang terjadi di era kepemimpinan Jokowi.
Terjadi kerusuhan di sekitar Sarinah, Jakarta Pusat, yang disebabkan oleh kekecewaan kelompok tertentu terhadap hasil Pemilu 2019. Akibatnya, lebih dari 400 orang ditangkap. Kerusuhan yang berlangsung pada 21-22 Mei 2019 melibatkan bentrokan antara massa dan aparat di beberapa lokasi sekitar Sarinah, Tanah Abang, dan Sabang. Tidak sampai terjadi penjarahan.
Kerusuhan ini bermula dari aksi unjuk rasa para pendukung calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno di depan kantor Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) di Sarinah, Jakarta Pusat. Pasangan Prabowo-Sandiaga kalah dalam pemilihan melawan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Kepolisian menerapkan status siaga satu dari 21-25 Mei 2019 untuk menjaga keamanan setelah hasil akhir rekapitulasi nasional Pemilu 2019. Tindakan ini diambil sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan kekacauan, mengingat adanya ketegangan antara pendukung Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf.
Kerusuhan pada 21-22 Mei di Jakarta menodai penyelenggaraan pemilu yang selama era reformasi tidak pernah mengakibatkan bentrokan. Baru pada Pemilu 2019 terjadi bentrokan yang mengakibatkan ratusan orang ditangkap dalam waktu hanya dua hari.
Pemilu 2019 meliputi pemilihan legislatif dan presiden yang dilaksanakan secara serentak. Namun, perhatian publik lebih tertuju pada pemilihan presiden yang mempertemukan pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi.
Akibat kerusuhan di Jakarta, dilaporkan enam orang meninggal dunia. Kericuhan terjadi pada tengah malam, menjelang aksi 22 Mei 2019. Selain itu, Pemilu 2019 juga tercoreng karena menyebabkan kematian 894 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dan 5.175 petugas mengalami sakit.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi pemicu aksi unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah pada 23-24 September 2019, yang berakhir dengan kericuhan dengan aparat keamanan.
Demonstrasi ini dilaksanakan di sejumlah kota, termasuk Jakarta, Bandung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Di Jakarta, mahasiswa dari berbagai universitas memulai aksi mereka di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 19 September 2019.
Saat itu, para mahasiswa menolak RKUHP karena dianggap bermasalah pada beberapa pasalnya. Selain itu, mereka juga menolak RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertambangan Minerba, dan RUU Sumber Daya Air.
Salah satu alasan penolakan tersebut adalah karena pembahasan RKUHP dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang mewakili pemerintah bersama dengan Komisi III DPR pada 15 September 2019.
Selain menolak RUU KUHP, dalam kesempatan yang sama, aksi massa mahasiswa juga melayangkan penolakan terhadap revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Unjuk rasa ini dipimpin oleh sekitar seratus aktivis HMI di depan Gedung Negara Grahadi, Selasa, 24 September 2019.
Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap kinerja pemberantasan korupsi.
Undang-Undang KPK hasil revisi dianggap dapat melemahkan kinerja KPK dalam berbagai aspek. Lembaga antikorupsi tersebut mengungkapkan terdapat 26 poin yang dianggap sebagai bentuk pelemahan dalam UU KPK hasil revisi.
Dalam unjuk rasa ini, mahasiswa menyampaikan mosi tidak percaya kepada DPR RI sebagai bentuk kekecewaan terhadap kinerja anggota dewan yang menyetujui revisi undang-undang KPK. Selain itu, aksi massa juga mengkritik pemilihan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, yang dinilai kontroversial dan mendapat banyak penolakan dari para aktivis anti-korupsi.
Hingga Rabu, 25 September 2019 dini hari, setidaknya 232 orang menjadi korban dari aksi demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah, termasuk Jakarta, Bandung, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Korban tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa, tetapi juga melibatkan wartawan, masyarakat sipil, dan aparat keamanan.
Puncak pergerakan aksi massa mahasiswa secara besar-besaran terjadi pada awal tahun 2020 dengan adanya RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), yang kemudian disahkan menjadi RUU Cipta Kerja sebagai bagian dari rangkaian undang-undang omnibus law (sapu jagat).
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi memenuhi berbagai lokasi demonstrasi di seluruh Indonesia. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar juga dipenuhi massa aksi yang terlibat dalam gerakan ‘Gejayan Memanggil,’ sebagai salah satu bentuk penolakan terhadap omnibus law tersebut.
Selain mahasiswa, ratusan buruh juga menyampaikan penolakan terhadap undang-undang yang dianggap merugikan pekerja dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Mereka juga mengkritik bahwa perumusan naskah undang-undang tersebut dinilai tidak melibatkan partisipasi rakyat kecil dalam proses penyusunannya.
Aksi massa mahasiswa juga terjadi pada Oktober 2021 sebagai peringatan 7 tahun kepemimpinan Jokowi.
Dalam aksi tersebut, mereka menyampaikan belasan tuntutan kepada pemerintah terkait dengan kinerja Jokowi, yang dianggap masih meninggalkan banyak persoalan yang belum terselesaikan, termasuk UU Cipta Kerja dan isu-isu lain terkait hak-hak rakyat seperti kebebasan berekspresi. Mahasiswa pun menyebut Jokowi mengkhianati rakyat.
Dalam aksi demo yang menyoroti kinerja Presiden Jokowi selama 7 tahun berkuasa, massa BEM SI juga meneriakkan yel-yel ‘Jokowi Pengkhianat.’
Ratusan mahasiswa membentangkan spanduk bertuliskan “7 Tahun Jokowi Khianati Rakyat.” Ada juga spanduk yang bertuliskan “Reformasi Habis Dikorupsi Oligarki.”
Massa aksi yang tergabung dalam aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI) mulai berkumpul di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, Senin, 11 April 2022. Mereka membawa spanduk penolakan presiden tiga periode.
Mereka menolak wacana mengenai presiden tiga periode dan penundaan pemilu, yang dianggap melanggar konstitusi. Dalam aksi yang sama, mereka juga mendesak pemerintah untuk segera menangani masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, seperti kenaikan harga minyak goreng dan kebutuhan lainnya.
Massa aksi juga terlihat membawa beberapa spanduk seperti, ‘BEM Unhas Tolak 3 Periode dan Penundaan Pemilu.’ Selain itu, ada spanduk yang bertuliskan ‘minyak goreng seperti keadilan=langka.’
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 23 Aug 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 23 Agt 2024
Bagikan