
Di Balik Hari Anak Nasional Banjarmasin, Kasus Kekerasan Masih Menjadi Momok
Praktik kekerasan terhadap anak masih menjadi problem yang belum bisa optimal ditangani Pemerintah Kota Banjarmasin. Dari tahun ke tahun, angka kekerasan tak menunjukkan penurunan yang berarti.
Banjar Update
STARBANJAR- Praktik kekerasan terhadap anak masih menjadi problem yang belum bisa optimal ditangani Pemerintah Kota Banjarmasin. Dari tahun ke tahun, angka kekerasan tak menunjukkan penurunan yang berarti.
Meminjam data data dari laporan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) saja, tercatat sejak Januari - Mei 2020 sudah ada 28 kasus kekerasan yang terungkap.
Puluhan kasus tersebut didominasi kekerasan terhadap anak perempuan dengan jumlah 15 kasus, dan anak laki-laki 13 kasus. Adapun untuk kategori jenis kekerasan yakni, fisik (4), psikis (12), seksual (4), trafficking (3), ekonomi (4), dan pencucian (1).
Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, boleh dibilang perkembangan kasus kekerasan tahun ini juga mengalami peningkatan. Karena, sejak 2016 tercatat cuma ada 25 kasus yang dilaporkan, 2017 ada 35 kasus, 2018 ada 37 kasus, dan 2019 ada 47 kasus.
Kepala DP3A Banjarmasin, Iwan Fitriadi, mengakui kekerasan terhadap anak memang menjadi persoalan yang sulit diungkap. Iwan menyebutnya seperti fenomena gunung es.
"Karena ini seperti fenomena gunung es. Yang sebetulnya terjadi, yang tak dilaporkan jauh lebih besar," ujarnya usai peringatan Hari Anak Nasional di balai kota, Kamis (23/7).
Meski demikian, menurut dia, terus meningkatnya angka kasus yang masuk juga bisa dipandang dari dua sisi, positif dan negatif.
Positifnya adalah semakin banyak laporan yang masuk artinya semakin tinggi kepedulian masyarakat terhadap kasus tersebut. Sedang negatifnya, menjadi tanda merosotnya pola asuh orang tua.
"Dengan bertambahnya kekerasan anak dari sisi negatif tentu kami prihatin. Positif ini menjadi acuan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap kasus ini," katanya.
Penyebab kekerasan ini terjadi terbanyak dilatarbelakangi faktor ekonomi. Karena memang faktor ini sangat mempengaruhi terhadap pola asuh orang tua terhadap anaknya.
"Karena faktor ekonomi ini sehingga pola asuh yang dilakukan orang tua mengalami ibaratnya ketegangan," ketuanya.
Dari hasil tindak lanjut atas laporan tersebut juga tak jarang hingga ke ranah hukum. Walaupun upaya mediasi agar persoalan kekerasan terhadap anak bisa diselesaikan melalui cara kekeluargaan menjadi yang utama.
"Karena tugas kami ini memediasi, diselesaikan secara kekeluargaan. Itu yang paling baik. Ketika di mediasi dan tak dibawa ke ranah hukum artinya telah didapat kesepakatan antar semua pihak," ucapnya.
Lantas bagaimana tren kasus disaat pandemi CoVID-19, mengingat sektor ekonomi masyarakat juga terpukul?
Meski belum memiliki data yang pasti, namun Iwan berani memastikan angka kasus kekerasan terhadap anak di tengah pandemi tentunya semakin meningkat. Bakan dua kali lipat.
"Pada saat pandemi ini sedikit mengalami peningkatan sebelum wabah. Kisaranya mungkin sebelumnya dalam sebulan itu dua atau tiga pengaduan sekarang ini bisa menjadi lima bisa menjadi enam," bebernya.
Bahkan, menurutnya peningkatan kasus ini tak hanya terjadi di Banjarmasin, karena pandemi ini terjadi secara global. "Tapi diketahui ini terjadi di seluruh Indonesia, tak hanya di Banjarmasin. Bahkan mungkin di seluruh dunia. Karena terjadi di seluruh dunia," pungkasnya.