Ilustrasi Pers
Banjar Update

HPN 2020 di Banjarmasin, Dewan Pers : Seorang Wartawan Harus Bebas dari Tekanan

  • Puncak perayaan Hari Pers Nasional (HPN) ke-74 tahun 2020 sukses digelar di Banjarmasin. Acara tersebut berlangsung sejak 7-9 Februari 2020 di Gedung Mahligai Pancasila, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Banjar Update
emylmaulana

emylmaulana

Author

Puncak perayaan Hari Pers Nasional (HPN) ke-74 tahun 2020 sukses digelar di Banjarmasin. Acara tersebut berlangsung sejak 7-9 Februari 2020 di Gedung Mahligai Pancasila, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Dalam acara puncak tersebut, Ketua Dewan Pers M Nuh menyebutkan seorang wartawan harus bebas dari tekanan serta dalam keadaan aman dan sejahtera. Melengkapi pernyataan tersebut, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Atal S Depari mengatakan bahwa selama ini Pers Indonesia selalu dan terus berupaya memberikan kontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia.

"Semangat persatuan para wartawan berjuang mempertahankan kemerdekaan itu, yang menjadikan Pers Indonesia selalu dan akan terus berupaya memberikan konstribusi untuk kemajuan bangsa dan negara," katanya seperti disitat dalam laman Lampost.co (10/2/2020).

Hanya saja, semangat para wartawan ternyata masih dipatahkan oleh beberapa oknum kepolisian. Faktanya, wartawan masih belum bebas dari tekanan serta belum memiliki keadaan aman. Dikutip dari laman Tempo.co (10/2), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merilis pernyataan bahwa musuh utama kebebasan pers adalah polisi. Pernyataan tersebut telah dikaji berdasarkan jumlah kasus kekerasan dan pembungkaman jurnalis oleh polisi sepanjang 2019.

Abdul Manan, selaku Ketua AJI menyebutkan hingga 23 Desember 2019, setidaknya ada 53 kasus kekerasan terhadap wartawan. Angka tersebut diperoleh dari data yang dirangkum oleh Bidang Advokasi AJI Indonesia.

Dari 53 kasus tersebut, 30 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan yang dilakukan oleh polisi. Disusul 7 kasus kekerasan terbanyak kedua dilakukan oleh warga, 6 kasus oleh organisasi massa atau organisasi kemasyarakatan, dan 5 kasus oleh orang tak dikenal.

“"Ini bukan hal baru. Jadi melihat banyaknya kasus politik di 2019, kami rasa kalau ada yang boleh dianggap musuh kebebasan pers itu adalah polisi," kata Manan, sebagaimana dilansir dari laman Tempo.co (10/2).

Fakta lain yang tak kalah mengkhawatirkan selama 2019 yaitu kasus kekerasan masih didominasi kekerasan fisik. Angkanya mencapai 20 kasus. Di antaranya 14 kasus meliputi perusakan alat atau data hasil liputan, 6 kasus tentang ancaman kekerasan atau terror, 5 kasus tentang pemidanaan atau kriminalisasi, dan 4 kasus adalah mengenai pelarangan liputan.

"Masih dominannya kasus dengan jenis kekerasan fisik ini sama dengan tahun sebelumnya. Tahun lalu jenis kekerasan fisik tercatat ada 12 kasus, tahun 2017 sebanyak 30 kasus," katanya.

Disampaikan Manan, hampir setiap kasus kekerasan terhadap wartawan yang melibatkan polisi belum ada yang diproses secara hukum. Untuk itu, Manan telah memberi sinyal jelas pada Presiden Joko Widodo dan Kapolri Idham Aziz agar kasus-kasus ini menjadi catatan penting untuk tahun berikutnya.

"Ini problem karena dia aparat hukum. Dia yang menentukan salah tidaknya. Mereka yang melakukan kekerasan mereka enggak usut secara serius. PR kita di tahun mendatang. Karena kalau dibiarkan bisa menjadi pola berulang. Maka kita tuntut polisi perbaiki pendidikan Kepolisian," tutupnya.