Investasi Tiongkok Capai Rekor di Asia, Indonesia Penerima Terbesar

07 Maret, 2024 20:20 WIB

Penulis:Redaksi Starbanjar

Presiden Tiongkok, Xi Jinping, melakukan pembicaraan dengan Presiden Indonesia, Joko Widodo, di Bali, Indonesia, pada 16 November 2022.
Presiden Tiongkok, Xi Jinping, melakukan pembicaraan dengan Presiden Indonesia, Joko Widodo, di Bali, Indonesia, pada 16 November 2022. (Xinhua/Li Xueren)

STARBANJAR - Laporan Griffith University Brisbane dan Fudan University Shanghai menyoroti peningkatan investasi China di kawasan Asia-Pasifik, mencapai 37% menjadi hampir US$20 miliar, atau sekitar Rp312 triliun (kurs Rp15.500) pada tahun 2023. 

Sekitar setengah dari total investasi tersebut dialokasikan ke Asia Tenggara, dengan Indonesia menjadi penerima terbesar, menerima US$7,3 miliar, atau sekitar Rp113,88 triliun.

Sebagian besar dari jumlah tersebut adalah akuisisi TikTok terhadap 75% saham unit e-commerce milik PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), yaitu Tokopedia, senilai US$840 juta atau sekitar Rp13,1 triliun.

Langkah ini menandai bagian dari strategi besar-besaran asal China untuk memperkuat kembali kehadirannya dalam industri e-commerce di Indonesia, setelah regulator mamaksa TikTok untuk memisahkan fitur belanjanya dari fungsi media sosial pada Oktober tahun lalu.

Menurut Nikkei Asia, sekitar US$17 miliar dari investasi tersebut disalurkan ke proyek-proyek konstruksi, sebagian besar didanai melalui pinjaman dari China. Besarnya nilai kontrak konstruksi ini menunjukkan peningkatan sekitar 14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Angka-angka tersebut sangat kontras dengan penurunan sebesar 12% dalam investasi langsung dari luar ke negara-negara berkembang di kawasan Asia pada tahun sebelumnya. Data tersebut muncul pada minggu yang sama Ketika pemerintah China menargetkan Produk Domestik Bruto (PDB) yang ditetapkan sekitar 5% untuk tahun 2024, konsisten dengan target pada tahun sebelumnya.

Sebagian besar kegiatan investasi di luar negeri difokuskan pada negara-negara yang terhubung dengan Belt and Road Initiative (BRI), yang merupakan upaya Beijing untuk mengembangkan infrastruktur yang membentang dari Asia hingga Eropa dan sekitarnya.

Menurut Direktur Griffith Asia Institute, Christoph Nedopil, investasi China di negara-negara yang bukan bagian dari BRI telah mencapai titik terendah sepanjang sejarah, hanya mencapai US$120 juta. Jumlah ini menunjukkan penurunan sebesar 90% dari level yang sudah menjadi rekor terendah pada tahun 2022.

Peserta BRI juga menyumbang 92% dari kontrak konstruksi. “Tren paling menarik yang kami temukan pada tahun 2023 adalah munculnya keterlibatan investasi hijau China yang kuat melalui investasi energi dan pertambangan, serta keterlibatan China di kawasan ini yang berlawanan dengan tren yang ada, yaitu naik, bukan turun,” ungkap Nedopil kepada Nikkei Asia.

Data mengenai keterlibatan China, yang mencakup kontrak konstruksi dan investasi, menunjukkan aktivitas mulai kembali ke pola yang ada sebelum pandemi Covid-19. Sebelumnya, investasi merupakan aspek utama dari keterlibatan China di wilayah ini.

Namun, pada tahun 2021, konstruksi menyumbang lebih dari 70% untuk pertama kalinya. Pada tahun lalu, investasi menyumbang sekitar 54% dari total keterlibatan, mendekati tingkat sebelum pandemi.

Investasi China di Enam Negara Turun

Di sisi lain, Filipina, Mongolia, Myanmar, Papua Nugini, Tajikistan, dan Turki, mengalami penurunan 100% dalam keterlibatan China mulai 2022. Ini menandakan tidak ada investasi baru atau proyek konstruksi sama sekali.

“Ada berbagai alasan, tetapi biasanya karena penggabungan risiko politik dan ekonomi. Sebagai contoh, Filipina dan China mengalami pendinginan hubungan bilateral,” kata Nedopil.

Partisipasi dalam Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) mengalami penurunan sekitar 74%, terjadi di tengah gejolak politik negara Asia Selatan dan kekhawatiran akan militansi. Keterlibatan di Australia, merosot sekitar 66%.

Keseluruhan, perusahaan swasta China mendominasi investasi di kawasan Asia-Pasifik pada tahun lalu. Kali ini terdapat banyak pemain China yang bergabung dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Seperti pada tahun sebelumnya, keterlibatan dalam konstruksi didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik negara.

Transisi Energi dan Bahan Baterai Kendaraan Listrik

Sebagian besar investor swasta baru terlibat pada transisi energi dan bahan baterai. Ini menunjukkan dominasi China dalam rantai pasokan mineral penting dan energi terbarukan di dunia. Zhejiang Huayou Cobalt, salah satu pemurnian kobalt global, menyumbang 21,2% dari total investasi China di kawasan Asia. Diikuti oleh Alibaba, raksasa e-commerce, yang berkontribusi sebesar 11,6%.

Langkah China dalam industri logam dan pertambangan, terutama dalam sumber daya yang relevan dengan peralihan ke energi bersih seperti lithium dan bahan baterai seperti nikel untuk kendaraan listrik, berpusat di negara-negara seperti Indonesia, Korea Selatan, Vietnam, dan Bangladesh.

Investasi di sektor tersebut mencapai US$5,3 miliar (sekitar Rp82,68 triliun), mengalami pertumbuhan sebesar 130% dibandingkan dengan tahun 2022. Namun, pertumbuhan ini masih di bawah tingkat yang terlihat pada tahun 2018 dan 2019.

Investasi penting dalam sektor kendaraan listrik termasuk patungan antara Zhejiang Huayou Cobalt dan LG Chem di Korea Selatan, serta pabrik produsen mobil China di negara-negara seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia.

Meskipun secara keseluruhan, keterlibatan China di Asia-Pasifik tidak selalu sejalan dengan strategi Beijing untuk mengejar proyek-proyek kecil namun indah. Setelah sepuluh tahun BRI, ada banyak pembicaraan tentang penyesuaian kembali terhadap upaya yang lebih sederhana, terutama mengingat situasi ekonomi China saat ini.

Namun, rata-rata kesepakatan investasi tetap tinggi pada tahun 2023, mencapai US$499 juta (sekitar Rp7,78 triliun). Meskipun angka ini lebih dari dua kali lipat dari nilai terendah pada tahun 2021, yakni US$195 juta (sekitar Rp3,04 triliun), namun sedikit di bawah angka US$583 juta (sekitar Rp9,09 triliun) yang tercatat pada tahun 2022.

Mengenai proyek konstruksi, nilai kesepakatan meningkat menjadi US$401 juta (sekitar Rp6,25 triliun) pada tahun 2023 dari US$285 juta (sekitar Rp4,45 triliun) pada tahun sebelumnya.

Laporan tersebut juga mengindikasikan pemulihan lebih lanjut dalam investasi dan konstruksi China di kawasan Asia-Pasifik pada tahun ini. Faktor-faktor yang menjadi katalis adalah, peningkatan urgensi dalam transisi ke energi bersih, bersama dengan penurunan permintaan domestik yang membuat perusahaan-perusahaan China mencari peluang di pasar internasional.

“China mungkin akan melanjutkan keterlibatannya dalam proyek-proyek infrastruktur strategis besar yang mungkin tidak memiliki keuntungan finansial secara langsung,” kata laporan tersebut, merujuk pada rel kereta api, jalan raya, dan pelabuhan. Sebab, China berusaha untuk menghindari ketergantungan pada jalur-jalur transportasi yang rentan.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 07 Mar 2024