Nasional
07 Maret, 2024 12:40 WIB
Penulis:Redaksi Starbanjar
STARBANJAR - Mahkamah Konstitusi (MK) siap untuk mengadili perselisihan Pilpres 2024. Sesuai ketentuan, sidang Perkara Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden akan berlangsung selama 14 hari kerja setelah permohonan tercatat di MK.
“Kami tetap akan optimistis sepanjang yang secara maksimal bisa kami lakukan. Di luar itu kan kadang-kadang itu instrumen yang di luar kemampuan kami,” ujar Ketua MK Suhartoyo, saat ditemui di Bogor, Jawa Barat, dikutip dari Antara, pada Rabu malam, 6 Maret 2024.
Menurut Suhartoyo, batas waktu 14 hari kerja sebenarnya terlalu singkat untuk menyelesaikan kasus PHPU Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini disebabkan karena kemungkinan besar akan ada banyak saksi yang perlu diperiksa dalam kasus PHPU tersebut.
“Di pilpres tahun lalu, yang 2019, kami bisanya hanya mendengar 15 saksi, kan. Iya kan? Yang 2019 coba ingat. Nah, sekarang (misalkan) ada 1.000 dalil, saksinya harus 1.000. Kapan kami mau periksa 1.000 saksi itu?” ujar Suhartoyo.
Menurut Ketua MK, setiap argumen yang diajukan oleh pihak yang mengajukan permohonan harus didukung oleh bukti yang kuat. Proses pembuktian dapat dilakukan melalui berbagai cara, termasuk surat, saksi, atau ahli. Ketika ada banyak argumen yang diajukan, dia menyatakan batas waktu 14 hari kerja terasa cukup singkat.
“100 dalil, apa kami mau mendengar 100 saksi? Kapan waktunya, 14 hari?" ujar Suhartoyo.
Namun, Suhartoyo menegaskan MK akan berupaya maksimal dalam menyelesaikan kasus PHPU. Bagaimanapun juga, batas waktu tersebut bersifat absolut.
“InsyaAllah. Kalau hari itu sepertinya absolut loh, limitatif, enggak bisa ditawar itu,” katanya pula.
Berdasarkan Pasal 50 Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden, disebutkan perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden diputus dalam jangka waktu maksimal 14 hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK).
Lebih lanjut, Suhartoyo menyampaikan dalam mempersiapkan PHPU, MK telah melakukan simulasi. Dia menjelaskan MK telah membentuk gugus tugas yang telah diatur dengan detail.
“MK sudah selalu mengadakan simulasi dan kami punya gugus tugas 600-an pegawai itu yang masing-masing punya tugas khusus yang sudah di-plot, secara detail yang itu secara periodik kami simulasikan,” katanya.
MK menyelenggarakan simulasi pada Rabu kemarin, yang dihadiri Gugus Tugas Penanganan Perkara PHPU Tahun 2024 di Aula Lantai Dasar dan Area Lobi Gedung 1, 2, dan 3 MK, Jakarta.
“Simulasi akbar PHPU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD berlangsung sesuai tahapan, mulai dari pra-registrasi, pasca-registrasi, dan pasca-putusan,” ucap Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan MK Fajar Laksono dalam siaran persnya.
Menurut Fajar, simulasi pra-registrasi mencakup pengajuan permohonan, verifikasi berkas, registrasi, dan pengolahan data permohonan, hingga persiapan persidangan. Simulasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan tahapan pasca-registrasi, yang melibatkan penyampaian salinan permohonan, panggilan sidang, pelaksanaan persidangan, dan simulasi proses pasca-putusan PHPU.
“Pada saat simulasi, beberapa pegawai berperan sebagai pemohon dengan diminta menunjukkan identitas, kemudian mengambil nomor urut pengajuan permohonan (NUPP), menyerahkan berkas, hingga verifikasi berkas di meja registrasi. Selanjutnya, berkas diolah oleh petugas sesuai dengan peran dan fungsinya,” papar Fajar.
Suhartoyo menegaskan, hakim tidak diperbolehkan campur tangan dalam proses pembuktian saat menangani sengketa PHPU, baik itu terkait Pilpres maupun Pileg.
“Kalau pertanyaan tadi, apakah boleh hakim mengadili dalam perkara (sengketa) pileg dan pilpres nanti bisa aktif memanggil pihak ahli ke persidangan? Itu saya tegaskan, itu tidak bisa,” tegas dia.
Menurut Suhartoyo, dalam kasus PHPU, pembuktian argumen harus dilakukan oleh pihak yang terlibat dalam sengketa. Apabila hakim MK terlibat langsung, itu akan dianggap sebagai tindakan memihak dari hakim tersebut.
“Jadi semua itu harus dibawa ke persidangan, dibuktikan oleh para pihak. Tidak boleh itu hakim cawe-cawe, harus begini, harus begini, enggak boleh,” tuturnya.
Suhartoyo menjelaskan sengketa pemilu atau PHPU bersifat interpartes, artinya melibatkan dua pihak yang bersengketa, pemohon dan termohon. Dia menekankan perbedaan ini dengan perkara pengujian undang-undang atau judicial review.
“Kalau judicial review itu kan enggak ada lawan. Ada pemohon, enggak ada termohonnya.”
“Kalau hakim MK mau memanggil ahli, memanggil saksi, pihak-pihak lembaga mana pun dipanggil di MK untuk membuktikan yang diajukan oleh pemohon, persoalan undang-undang yang sifatnya abstrak milik publik, itu enggak ada yang protes, karena apa? Karena memang tidak ada pihak yang sengketa di situ secara langsung,” sambungnya.
Ketua MK menambahkan, hakim dalam hal perkara PHPU sejatinya bersikap pasif. Dia mengatakan, “Hakim enggak boleh berlebih-lebihan sikapnya, kemudian menambah-nambah fakta di persidangan, inisiatif hakim, itu hakim sudah berpihak.”
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 07 Mar 2024
Bagikan