
Masyarakat Adat Tolak Rencana Taman Nasional Pegunungan Meratus, Apa Sikap Gubernur Kalsel?
- Ratusan masyarakat adat Dayak dari berbagai wilayah Kalimantan Selatan, bersama aktivis lingkungan dan mahasiswa, menggelar aksi damai menolak rencana penetapan Pegunungan Meratus sebagai Taman Nasional, pada Jumat (15/8).
Banjar Update
STARBANJAR – Ratusan masyarakat adat Dayak dari berbagai wilayah Kalimantan Selatan, bersama aktivis lingkungan dan mahasiswa, menggelar aksi damai menolak rencana penetapan Pegunungan Meratus sebagai Taman Nasional, pada Jumat (15/8).
Aksi berlangsung di depan Kantor Sekretariat Daerah Provinsi Kalsel, Banjarbaru, dan diinisiasi Aliansi Meratus yang dikoordinatori Walhi Kalsel dan PW AMAN Kalsel.
Masyarakat menilai rencana tersebut mengancam hak ulayat mereka. Pegunungan Meratus, yang membentang melintasi sembilan kabupaten, bukan sekadar hutan, tetapi juga rumah dan sumber kehidupan bagi masyarakat adat yang telah turun-temurun menetap di wilayah itu.
Petrus, perwakilan dari Loksado, Hulu Sungai Selatan, menegaskan, “Kami tak ingin terusir dari tanah adat kami.” Begitu juga Anang Suriani dari komunitas adat Dayak Pitap di Balangan. “Hutan adalah sumber penghidupan kami,” kata Anang.
Gubernur Kalsel, Muhidin, menemui massa dan membuka dialog terbuka. Ia menegaskan bahwa pengusulan status Taman Nasional bukan untuk membatasi masyarakat, melainkan melindungi kawasan dari eksploitasi. Namun, ia enggan menandatangani surat tuntutan yang disodorkan oleh massa di hari yang sama dan memerlukan waktu.
“Perubahan status dari hutan lindung menjadi taman nasional akan memastikan kawasan ini tidak berubah menjadi hutan produksi yang bisa ditambang kapan saja oleh investor. Dengan status ini, tidak akan ada penambangan di sana. Masyarakat tetap bisa berladang, berburu, menangkap ikan, dan melakukan aktivitas seperti biasa,” jelasnya.
Muhidin menawarkan agar perwakilan masyarakat adat, tokoh adat, dan aktivis lingkungan dapat berdialog langsung dengan Kementerian Kehutanan di Jakarta, dengan biaya keberangkatan ditanggungnya sendiri. Ia juga menekankan bahwa jika perubahan status taman nasional justru merugikan masyarakat, ia tidak akan menandatangani keputusan itu dan siap berdiri di barisan masyarakat adat.
Namun, penolakan Gubernur menandatangani pernyataan resmi Aliansi Meratus menimbulkan ketegangan. Aliansi menilai penetapan Taman Nasional merupakan kebijakan top-down yang berpotensi mengabaikan hak tanah ulayat dan praktik konservasi tradisional yang selama ini dijalankan masyarakat adat. Menurut mereka, seharusnya konsep pengelolaan dan konservasi dari masyarakat adat diakui sebagai kebijakan lokal, bukan diimpor dari luar.
Pegunungan Meratus menjadi perhatian strategis karena ekosistemnya meluas hingga Kalimantan Tengah dan Timur. Konflik ini menyoroti ketegangan antara konservasi berbasis negara dan hak masyarakat adat yang belum sepenuhnya diakui secara hukum.