Pemilih di Kecamatan Banjarmasin Selatan menggunakan haknya di Pilkada serentak 2020 lalu. (Foto : Starbanjar)
Banjar Today

Menggugat Status Quo Proporsional Terbuka

  • STARBANJAR - Pemilihan umum (pemilu) saat ini menjadi norma umum – global, sekitar 90% Negara di dunia saat ini menggunakan pemilu sebagai media menentukan para pemimpin mereka dengan model multipartai.
Banjar Today
Ahmad Husaini

Ahmad Husaini

Author

Oleh : M. Luthfi Rahman, SH*

STARBANJAR - Pemilihan umum (pemilu) saat ini menjadi norma umum – global, sekitar 90% Negara di dunia saat ini menggunakan pemilu sebagai media menentukan para pemimpin mereka dengan model multipartai.

Namun hal ini menyisakan masalah bagi rezim demokrasi baru karena  disibukan dengan persoalan pemenuhan standar minimal demokrasi elektoral dan meningkatkan kualitas pemilu tersebut. 

Selain itu, problematik selanjutnya adalah ihwal bagaimana masih lemahnya penegakan hukum dan kebebasan sipil. 

Khususnya dalam persoalan penyelenggaraan pemilu dengan model multipartai, tidak seluruh rezim mampu meningkatkan kualitas kepemiluan mereka. 

Masih banyak terdapat kecurangan dan malpraktik elektoral lainnya seperti praktik jual beli suara yang turut serta mendegradasi kualitas kepemiluan. 

Hal seperti sangat lazim ditemukan bagi Negara yang baru ke alam demokrasi. Alih – alih transformasi rezim dari otoritarian ke rezim demokrasi yang membawa harapan perubahan ke arah lebih baik, justru Negara tersebut terjebak dalam keadaan yang tidak demokratis.

Masih lemahnya institusi demokrasi khususnya partai politik, desain pemilu model multipartai malah memberi ruang personal untuk menggunakan politik uang (clientelistic). 

Strategi dan keadaan ini membuat partai hanya menjadi motor pengantar seseorang untuk memperoleh kekuasaan diluar daripada kapasitas dan kapabilitas personal tersebut. 

Gambaran problematik inilah yang juga terjadi di Indonesia, masih lemahnya keadaan entitas demokrasi Indonesia saat ini, sistem pemilu proporsional terbuka yang digunakan dengan terbukanya begitu lebar ruang elektoral turut menjadi pintu dengan probabilitas tinggi mendegradasi kualitas penyelenggaraan pemilu.

Sistem Pemilu dan Wajah Demokrasi Indonesia 

Pasca runtuhnya rezim orde baru yang dulunya berkuasa mutlak selama 32 tahun tumbang oleh gerakan akar rumput dan melahirkan demokrasi dengan pemilu yang bersifat multipartai dengan pemilu multilevel dari pemilihan legislatif hingga pemilihan presiden – wakil presiden secara langsung oleh publik. 

Tetapi reformasi yang dilakukan dengan harapan membawa perbaikan nasib masyarakat dalam penyelenggaraan kekuasaan masih jauh dari cita bersama.Berbagai diskusi publik pun muncul mencari kambing hitam siapa dan apa yang salah.

Perdebatan pun mengerucut pada sistem proporsional pemilu yang menjadi proses pembentukan kekuasaan di tengah entitas demokrasi elektoral yang lemah. 

Maka gagasan menyeruak, ada pihak yang menginginkan tetap mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka saat ini, di sisi seberang ada yang ingin menggunakan sistem pemilu tertutup. 

Pada posisi tengah muncul gagasan bersifat campur atau hybrid sebagai titik kompromi. Namun perlu kita 

meninjau dampak daripada model tersebut dan menilik sejarah ke belakang sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa kita telah melalui pemilu menggunakan model terbuka dan tertutup.

Pemilu pada tahun 1955, pemilu orde baru, dan pemilu 1999, kita menggunakan daftar tertutup.

Sedangkan setelah Perubahan UUD NRI 1945 kita menggunakan daftar terbuka yaitu pada pemilu legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019. Lalu timbul pertanyaan mana yang lebih baik antara sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup?

Mengutip Andrew Reynold seorang peneliti pemilu dari International IDEA mengatakan sejatinya tidak ada sistem pemilu yang paling ideal. 

Tidak ada satupun sistem pemilu yang mampu memenuhi semua kebutuhan politik nasional atau semua kepentingan kelompok politik. 

Kita hanya bisa berbicara “ketepatan sistem pemilu” berdasarkan kondisi historis, sosiologis, dan keadaan politik suatu bangsa.

Saat ini kita sangat mampu melihat keadaan sosiologis dan keadaan bangsa kita terbukti dengan debat – debat publik yang muncul membahas sistem proporsional kepemiluan.

Multipartai dan pemilu multilevel yang saat ini menggunakan sistem terbuka berlangsung dengan eskalasi kompetisi tinggi namun berjalan dengan timpang akibat kehadiran partai yang tidak memiliki platform yang berbeda satu sama lain. 

Publik menjadi bingung untuk memilih, platform dan kebijakan serta ideologis menjadi tidak begitu penting, political will partai adalah meng – capture segala hal yang dianggap disukai publik. 

Singkatnya partai menitikberatkan peran kandidat untuk meraih suara publik sebagai mitigasi dari kegagalan kelembagaan partai tersebut.

Dampaknya ruang person menjadi terbuka sangat bebas, kompetisi antar calon sangat tinggi dan party vote menjadi sangat minim tapi sebaliknya personal vote menjadi besar. 

Kompetisi bukan saja antar partai namun internal partai itu sendiri. Implikasinya para calon dapat melakukan berbagai kecurangan dan manipulasi elektoral salah satunya yaitu jual – beli suara yang tentu membutuhkan materi yang besar untuk mengejar kemenangan. 

Besarnya materi yang dibutuhkan dalam berkompetisi menjadi pintu untuk masuknya oligarki dan kartel politik.

Partai tidak lagi berbicara kaderisasi dan memberikan education politic kepada masyarakat dalam rangka membentuk basis pemilih. 

Partai hanya mencari dan bergantung pada person yang populer dan tentu mempunyai kapital untuk dinominasikan kepada publik. 

Terlepas bagaimana kapasitas dan kapabilitas person tersebut, ia akan mempunyai kedudukan lebih tinggi dari partai pada akhirnya. Tak jarang kita melihat ada person yang dengan mudahnya berpindah partai antara satu dengan yang lainnya karena ia merasa percaya diri dengan popularitas yang ia miliki. Walau popularitas yang terbentuk seringkali non substantif.

Pihak penyelenggara dan pengawas pemilu menjadi kerepotan, kompetisi yang tinggi dengan panjangnya tahapan – tahapan yang harus dilewati membuat probabilitas kecurangan sangat mudah terjadi dan lolos dari pengawasan. Anggaran pelaksanaan juga menjadi besar dalam membebani APBN. 

Akibatnya representatif hasil dari pemilu menjadi tidak cukup memuaskan untuk publik, sudah menjadi rahasia umum kinerja secara kelembagaan maupun person tersebut selalu penuh dengan kritik yang tajam.

Data hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada kurun waktu Januari tahun 2021 menunjukan DPR menduduki urutan terbawah dalam kepercayaan publik. 

Seturut dengan hal tersebut, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota juga menunjukan yang demikian.

Daulat Rakyat Dan Wajah Baru Demokrasi Indonesia

Publik saat ini sedang menunggu hasil putusan Mahkamah Konstitusi pada gugatan terhadap Undang – Undang Pemilu tentang sistem proporsional terbuka. 

Apakah MK akan memutuskan sistem proporsional terbuka, tertutup, atau bahkan campuran. Pada tataran masyarakat diskusi mengenai hal tersebut menjadi ramai. Ada yang berdebat tentang kapasitas MK mengadili hal tersebut dengan kaitannya konstitusi. 

Hal ini menjadi wajar karena hukum bersifat netral dan tidak tunggal. Selain itu ada yang menyebut jika proporsional tertutup yang diberlakukan maka oligarki dan kartel politik malah menjadi sangat mudah untuk penetrasi dalam kepemiluan serta perampasan kebebasan memilih masyarakat. 

Pendapat lainnya yang sangat radikal adalah bahwa ketika kita memilih tertutup, maka kita mengalami kemunduran karena kembali ke zaman orde baru dengan segala keburukannya. 

Bahkan timbul gerakan untuk membangun opini mengarahkan masyarakat untuk mendelegitimasi Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan sekarang apakah benar yang dikatakan demikian jika kita menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup? Inilah hal yang perlu kita uji dan analisis lebih lanjut secara seksama.

Wajah demokrasi kita saat ini selepas era reformasi perlu perbaikan terstruktur dan menyeluruh. 

Perlu adanya perubahan yang dilakukan secara progresif dan cepat. Sistem proporsional tertutup diyakini dapat membawa perubahan serta cukup ideal untuk digunakan dengan melihat keadaan bangsa kita saat ini dibandingkan sistem terbuka yang melahirkan kebebasan yang begitu bebasnya (liberal). 

Dalam sistem terbuka lah sebenarnya para pemodal begitu mudah masuk. Ketika tertutup, partai akan mempertimbangkan berbagai variabel dalam menominasikan person kepada publik. 

Bukan hanya soal popularitas dan modal, namun soal kemampuan. Kapasitas dan kapabilitas person menjadi yang salah satu hal agar partai turut serta dapat dilirik oleh masyarakat selain pendekatan partai yang mesti berubah. 

Pada saat ini partai hanya berjalan matematis elektoral menghitung berapa jumlah suara yang akan didapat pada pemilu. 

Bergerak hanya pada masa proses atau mendekati pemilu. Namun pada tertutup, partai akan berjalan membumi dan mengakar berusaha menciptakan basis grass root secara bersama dengan person.

Dalam pembentukan basis maka partai harus berjalan dengan transparansi dan demokratis. Pada tahapan nominasi dan kampanye partai harus membuka ruang dalam setiap lingkarnya terhadap person dengan masyarakat.

Ada berbagai pilihan cara, apakah dengan survei atau konvensi publik dan debat pada tiap tingkatan.

Persaingan dalam meraih kepercayaan publik akan terletak pada kemampuan dan kapasitas person, persaingan akan berubah menjadi persaingan substantif dan bukan persaingan modal atau popularitas. 

Pada masa pemilu dalam tahapan kampanye nanti yang akan terjun ke lapangan tidak bersifat individu, namun kerja kolektif. Person yang dinominasikan haruslah mempunyai kemantapan kapasitas dan kapabilitas karena ia membawa wajah partai.

Maka kaderisasi akan berjalan di tubuh partai untuk meningkatkan kemampuan para kadernya. Seiring dengan hal tersebut, pembentukan basis juga membutuhkan kaderisasi untuk melahirkan kader yang akan menjadi agen memperkenalkan partai ke publik. Maka kader tersebut harus mampu menggali platform dan kebijakan partainya untuk disampaikan, artinya sekali lagi kemampuan seseorang akan turut diuji dalam hal ini. 

Lalu selanjutnya, tak menutup kemungkinan pada proses akhir hal ini akan membentuk diferensiasi kebijakan, ideologi dan platform antar partai agar masyarakat dapat mudah mengidentifikasi partai tersebut dan memberikan suaranya di lapangan.

Artinya dengan sistem proporsional tertutup, partai di dorong untuk bermasyarakat. Sehingga timbul kontrak politik antara partai, masyarakat, dan person yang sebelumnya hanyalah antara person dan masyarakat. 

Kedudukan partai akan meningkat sebagaimana ia adalah pilar demokrasi dan setara dengan entitas demokrasi lainnya, bukan hanya menjadi motor pengantar kekuasaan. 

Transparansi dan demokrasi partai akan turut tercipta. Sisi lainnya, masyarakat sebetulnya akan lebih mudah menghukum partai apabila ada person yang dicalonkan tidak mempunyai performa yang bagus karena kesederhanaan pilihan. Bayangkan ketika partai berani mencalonkan person yang tidak mempunyai kemantapan kapasitas – kapabilitas dan bahkan terdapat rekam jejak yang miring seperti korupsi, rakyat dapat berpindah pilihan ke partai lain. 

Kesimpulannya rakyat sejatinya masih sangat berdaulat dalam menjalankan haknya. 

Dalam konteks penyelenggaraan dan pengawasan pemilu dengan menggunakan proporsional tertutup pasti akan berjalan lebih mudah dan cukup sederhana. Seperti yang kita ketahui bersama sebelumnya pada pemilu 2019 ada ratusan penyelenggara pemilu yang meninggal, maka hal ini tentu tidak boleh terulang kembali di masa akan datang. 

Dengan model sistem proporsional tertutup tentu dapat dipastikan akan meminimalisir peristiwa serupa ditambah dengan mitigasi rencana lainnya. Anggaran kepemiluan juga berdampak, Penghematan APBN diklaim dapat ditekan sebesar 20% dengan sistem proporsional tertutup, artinya dana ratusan triliun untuk pemilu dapat dipergunakan untuk berbagai hal.

Dengan gambaran di atas, artinya probabilitas perubahan besar demokrasi Indonesia sangat tinggi. Ini adalah suatu kemajuan berpikir kita dengan melihat sistem yang ada dan mengkorelasikan pada keadaan sekarang bahwasanya revolusi atas berbagai permasalahan kepemiluan serta demokrasi harus dilakukan. Suatu kewajaran juga bagi kita pada saat ini sebagai Negara demokrasi yang baru pasca runtuhnya rezim otoritarian untuk mencoba mencocokan berbagai sistem dalam kepemiluan. 

Hal ini bukanlah kemunduran seperti yang dikatakan banyak pihak jika kita mengganti suatu sistem dengan atas dasar adanya ketidakcocokan dalam implementasinya dengan keadaan sosiologis dan politik bangsa kini.

* Penulis merupakan Ketua DPD GMNI Kalimantan Selatan