Banjar Update
06 Juni, 2024 10:16 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA - Pada pertengahan tahun 2024, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 mengenai Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Kebijakan tersebut tentunya menuai perdebatan di berbagai kalangan, mengingat peraturan mengenai Tapera ini mewajibkan setiap pekerja negeri, swasta, hingga pekerja mandiri untuk menyisihkan penghasilan bulanannya untuk iuran Tapera.
Direktur Eksekutif Bhima Yudhistira dan Direktur Ekonomi dari Nailul Huda dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menganggap kebijakan ini sebagai suatu kontroversi karena memberatkan pekerja yang diwajibkan menjadi peserta program Tapera dengan iuran yang cukup besar, yakni 2,5% dari gaji untuk pekerja dengan pendapatan di atas Upah Minimum Regional (UMR).
Selain itu, dunia usaha juga merasa terbebani dengan tambahan iuran sebesar 0,5% dari gaji pekerja.
“Lantas, kebijakan Tapera ditengah tekanan kelas menengah dan dunia usaha untuk mendukung siapa? Siapa aktor ekonomi yang diuntungkan dalam kebijakan ini?” ujar Nailul dan Bhima melalui pernyataan yang diterima TrenAsia, Selasa, 4 Juni 2024.
Tapera sebenarnya bukanlah konsep baru. Program ini sebelumnya dikenal sebagai Tabungan Perumahan (Taperum) Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang diperuntukkan bagi abdi negara.
Pengelolaannya dilakukan oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum). Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi dugaan penyelewengan dana dalam pengelolaan Taperum.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kerugian sebesar Rp179,9 miliar pada tahun 1995. Skandal ini kemudian dikenal dengan sebutan Taperumgate.
Pada tahun 2016, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat, yang menjadi dasar pembentukan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).
Program ini diperluas cakupannya sehingga tidak hanya menyasar PNS, tetapi juga pegawai swasta dan pekerja mandiri. Alasan utama dari perluasan ini adalah tingginya backlog perumahan di Indonesia. Pada tahun 2023, backlog perumahan tercatat sebesar 9,9 juta unit, menurun dari 13,5 juta unit pada tahun 2010.
Nailul dan Bhima berpendapat, penurunan backlog perumahan ini menunjukkan adanya perbaikan dalam ketersediaan perumahan di Indonesia.
Namun, perbaikan ini tidak cukup signifikan untuk mengatasi masalah keterjangkauan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Kenaikan harga rumah yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan gaji rata-rata menjadi salah satu penghambat utama.
Pada tahun 2023, kenaikan gaji rata-rata adalah 1,8%, sedangkan kenaikan harga rumah mencapai 1,96%, bahkan lebih tinggi untuk kategori rumah kecil dan menengah.
“Faktor ekonomi juga berperan penting dalam mempengaruhi permintaan dan ketersediaan perumahan. Perubahan kondisi ekonomi, seperti pendapatan masyarakat, stabilitas harga properti, hingga suku bunga KPR dan DP atau uang muka pembelian rumah kemungkinan besar turut berkontribusi terhadap penurunan backlog perumahan ini,” kata Nailul dan Bhima.
Baca Juga: Inilah Daftar Bank Penyalur Tapera dan Jenis-jenis Produknya
Menurut Bhima dan Nailul, kebijakan iuran wajib Tapera diperkirakan akan menurunkan pendapatan disposibel masyarakat, yang pada gilirannya mengurangi konsumsi rumah tangga.
Dengan menggunakan pendekatan Input-Output Nasional 185 sektor, dampak kebijakan Tapera terhadap ekonomi dapat diukur.
Asumsi yang digunakan adalah gaji rata-rata Rp3,04 juta per bulan, dengan hanya 50% pekerja formal yang terdaftar sebagai peserta Tapera, serta alokasi dana Tapera 60% untuk sektor perumahan dan 40% untuk investasi.
Hasil penghitungan menunjukkan bahwa kebijakan Tapera menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1,21 triliun.
Surplus bisnis juga mengalami penurunan sebesar Rp1,03 triliun, mengindikasikan bahwa profitabilitas dunia usaha menurun.
Pendapatan pekerja turut terdampak dengan risiko penurunan sebesar Rp200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat akan berkurang. Efek paling signifikan terlihat pada pengurangan tenaga kerja, di mana kebijakan Tapera menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan.
Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp20 miliar, jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan kerugian ekonomi di sektor lain.
Merujuk pada rencana Tapera, seluruh pegawai baik PNS maupun swasta, serta pekerja mandiri yang memperoleh penghasilan setara upah minimum diwajibkan menjadi peserta Tapera. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 7 ayat 1.
Dampaknya, dana yang dapat dikelola oleh Tapera jauh lebih besar dibandingkan dengan Taperum. Hingga laporan keuangan BP Tapera tahun 2022, dana yang dikelola sudah mencapai Rp8 triliun. Selain itu, BP Tapera juga telah melakukan kontrak investasi kolektif sebesar Rp3,32 triliun. Namun, pada tahun yang sama, pemanfaatan dana Tapera hanya sebesar Rp640,8 miliar.
Berdasarkan data, penempatan dana Tapera lebih banyak pada Surat Utang Korporasi yang mencapai 47%. Selain itu, dana Tapera juga ditempatkan sebesar 45% di instrumen investasi Surat Berharga Negara (SBN), sementara sisanya ditempatkan pada deposito perbankan dan giro.
Menurut Bhima dan Nailul, dengan proporsi ini, pemerintah sebagai pengelola APBN jelas memiliki kepentingan dalam pengelolaan dana Tapera untuk pembelian SBN, di mana proporsinya mencapai 45%.
“Dengan proporsi tersebut, maka pemerintah selaku pengelola APBN memang mempunyai kepentingan dalam pengelolaan dana Tapera untuk pembelian SBN dimana proporsinya mencapai 45%. Ada nama Menteri Keuangan dalam struktur Komite Tapera yang salah satu tugasnya adalah menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan dana Tapera,” kata Bhima dan Nailul.
SBN diklaim sebagai instrumen investasi yang relatif aman karena ada jaminan dari pemerintah. Namun, deposito seharusnya menawarkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi.
Laporan Bank Indonesia dalam Analisis Uang Beredar menunjukkan bahwa posisi rata-rata tertimbang suku bunga simpanan berjangka meningkat setelah adanya kebijakan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Sejak pertengahan tahun 2022, terjadi peningkatan luar biasa dalam suku bunga deposito mengikuti kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Selisih antara suku bunga deposito dengan kupon SBN tenor 10 tahun semakin menyempit, yang membuat pasar SBN Indonesia tertekan di pasar sekunder domestik. Bhima dan Nailul mengatakan bahwa pemerintah harus berhati-hati dalam menerbitkan yield SBN karena potensi beban negara di masa depan.
Menurut Bhima dan Nailul, pemerintah tampaknya memang tengah mendorong pembelian SBN melalui berbagai lembaga pengelola investasi pelat merah, termasuk Tapera. Dana yang berpotensi dikumpulkan dari masyarakat bisa mencapai Rp135 triliun, dengan Rp61 triliun di antaranya untuk SBN.
Dengan target penerbitan SBN sebesar Rp160 triliun di tahun 2024, sekitar 37% bisa dipenuhi hanya dari BP Tapera.
“Penggunaannya pun tidak akan terbatas pada perumahan, melainkan dapat digunakan untuk program pemerintah mulai dari pembangunan IKN hingga makan siang gratis ke depan,” tegas Bhima dan Nailul.
Bhima dan Nailul pun menilai bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan BP Tapera saat ini rendah, mengingat berbagai kasus korupsi pengelolaan dana publik di masa lalu, seperti kasus PT Asuransi Jiwasraya, PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), dan PT Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen).
Berdasarkan pembahasan di atas, Bhima dan Nailul memberikan 7 rekomendasi terkait dengan kebijakan Tapera ini:
Pemerintah disarankan untuk mengubah peraturan yang mewajibkan semua pekerja swasta dan mandiri menjadi peserta Tapera. Kepesertaan ini sebaiknya bersifat sukarela, sementara kewajiban tetap dikenakan pada Aparatur Sipil Negara, POLRI, dan TNI.
Hal ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada pekerja swasta dan mandiri dalam mengelola keuangan mereka sendiri.
BP Tapera, Bank Kustodian, dan Manajer Investasi diharapkan memberikan informasi detail mengenai posisi kekayaan dan investasi peserta melalui berbagai kanal komunikasi seperti email dan pesan instan.
Selain itu, peserta harus diberi kesempatan untuk menarik dana investasi sebelum mencapai usia pensiun atau sebelum berumur 58 tahun. Transparansi ini penting untuk membangun kepercayaan peserta terhadap pengelolaan dana mereka.
BP Tapera perlu melakukan asesmen terhadap portofolio investasi yang sedang dan akan diberikan dana Tapera setiap tahun.
Penilaian ini harus mencakup tingkat pengembalian hingga keamanan transaksi keuangan. Pemupukan dana harus bebas dari konflik kepentingan para pejabat Tapera.
Oleh karena itu, peran BPK, KPK, dan OJK dalam pengawasan dan pendampingan menjadi sangat penting untuk memastikan tata kelola yang baik dan pencegahan korupsi dana Tapera.
Masalah spekulasi lahan yang membuat harga rumah tidak terjangkau bagi kelas menengah dan bawah harus segera diatasi.
Kebijakan seperti pajak progresif kepemilikan lahan, batasan terkait luas pemilikan lahan, dan sanksi bagi spekulan lahan perlu diprioritaskan.
Lahan yang dikuasai oleh korporasi besar juga perlu didata ulang dan sebagian bisa dialokasikan untuk program perumahan rakyat. Tanpa pengendalian spekulasi lahan, dana tabungan pekerja di Tapera tidak akan cukup untuk membeli rumah yang layak bahkan saat mereka pensiun.
Pemerintah perlu mempercepat peningkatan pendapatan masyarakat agar kemampuan membeli hunian menjadi lebih besar.
Reformulasi kenaikan upah minimum perlu segera dilakukan, karena semakin kecil kenaikan upah minimum, semakin sulit bagi pekerja untuk mengejar harga hunian yang semakin tinggi.
Industrialisasi dan peningkatan konektivitas digital menjadi salah satu cara untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih berkualitas. Selain itu, pemerintah perlu membatalkan kebijakan yang dapat menurunkan daya beli kelas menengah, seperti rencana penerapan PPN 12% pada tahun 2025.
Suku bunga KPR perlu diturunkan dengan mempercepat efisiensi biaya operasional dan konsolidasi perbankan sehingga Net Interest Margin (NIM) bank lebih rendah.
Dengan NIM yang lebih kompetitif, suku bunga KPR dapat ditekan, baik untuk suku bunga tetap maupun mengambang. Bank Indonesia juga disarankan untuk menggunakan berbagai instrumen moneter untuk membantu menurunkan suku bunga KPR.
Pemerintah disarankan untuk menunda proyek dengan dana besar dan memprioritaskan pembangunan perumahan rakyat melalui skema APBN, APBD, dan kerjasama swasta.
Dibandingkan dengan membangun Ibu Kota Negara (IKN), lebih baik sebagian dana dialokasikan untuk pemenuhan hunian layak bagi masyarakat, terutama karena pembangunan IKN masih dominan menggunakan dana APBN.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 04 Jun 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 06 Jun 2024
Bagikan