Ekonomi dan Bisnis
23 Februari, 2024 12:00 WIB
Penulis:Redaksi Starbanjar
STARBANJAR - Pemerintah Indonesia baru saja menyatakan minatnya untuk bergabung dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Langkah ini diumumkan melalui surat resmi dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kepada Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann, yang merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Indonesia telah diterima sebagai anggota OECD. Ini adalah momen bersejarah, karena Indonesia menjadi negara pertama di ASEAN dan ketiga di Asia setelah Jepang dan Korea yang bergabung dengan OECD,” kata Airlangga di Istana Kepresidenan beberapa waktu lalu.
Dewan OECD telah sepakat untuk membuka pembicaraan resmi mengenai keanggotaan Indonesia pada Rabu, 20 Februari 2024. Keputusan ini mengikuti penilaian oleh anggota OECD berdasarkan Evidence-based Framework for the Consideration of Prospective Members.
Langkah untuk memulai pembicaraan aksesi juga merupakan hasil dari peningkatan partisipasi dan kerja sama yang telah dilakukan Indonesia sebagai salah satu mitra utama OECD sejak tahun 2007.
Sebagai platform yang mengedepankan kerja sama dan pembentukan standar global, OECD telah menjadi mitra strategis Pemerintah Indonesia dalam usahanya untuk merumuskan kebijakan nasional yang progresif dan globally accepted.
“Keputusan anggota OECD hari ini adalah sesuatu yang bersejarah. Pengajuan dari Indonesia adalah yang pertama di Asia Tenggara, salah satu kawasan dengan pertumbuhan paling dinamis di dunia,” kata Cormann.
“Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia adalah pemain global yang signifikan, memberikan kepemimpinan yang penting di kawasan ini dan sekitarnya,” sambung dia.
Cormann menegaskan, keputusan untuk memulai pembicaraan aksesi ini diharapkan akan menguntungkan baik bagi Indonesia maupun OECD. Melalui dialog tersebut, OECD berharap dapat memberikan dukungan bagi Indonesia dalam melanjutkan upaya reformasi demi mencapai tujuan menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita minimal US$30.300 pada tahun 2045.
Selain itu, Cormann berharap, partisipasi Indonesia dalam proses aksesi ini juga akan meningkatkan relevansi dan dampak global OECD.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD), adalah lembaga internasional yang memegang peranan penting dalam mengarahkan serta mendorong kerja sama ekonomi di antara negara-negara anggotanya.
OECD didirikan pada tahun 1961, menggantikan Organisasi Kerja Sama Ekonomi Eropa (OEEC) yang telah ada sejak 1948. Tujuan utama pendirian OECD adalah mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang stabil di antara anggotanya serta mengurangi kesenjangan ekonomi di antara mereka. Saat ini, OECD memiliki 38 negara anggota, mayoritas di antaranya adalah negara-negara maju dan ekonomi terkemuka di dunia.
Airlangga menyampaikan proses aksesi ini diharapkan akan menjadi pendorong bagi peningkatan pendapatan per kapita Indonesia. Selain itu, keanggotaan Indonesia dan harmonisasi regulasi dengan standar OECD diharapkan akan memberikan manfaat positif bagi masyarakat secara umum, seperti meningkatkan investasi, mendorong UMKM untuk bersaing di tingkat global, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
“Kami juga berharap agar aksesi OECD bisa mendukung program prioritas Pemerintah Indonesia, antara lain ekonomi hijau, digitalisasi, pengembangan SDM, good governance, dan mendorong Indonesia segera lepas dari middle-income trap,” pungkas Airlangga.
Ia juga menyebutkan dukungan tertulis terhadap proses aksesi Indonesia telah diterima dari Australia, Jepang, Jerman, dan Slovakia.
Selanjutnya, Cormann mengungkapkan sebuah rancangan peta jalan aksesi untuk tinjauan teknis akan disusun bersama dengan Pemerintah Indonesia dan akan dipertimbangkan oleh Dewan OECD pada pertemuan berikutnya.
Peta jalan tersebut akan mencakup berbagai bidang kebijakan dan akan difokuskan pada sejumlah isu prioritas, seperti perdagangan terbuka dan investasi, tata kelola publik, integritas serta upaya anti-korupsi, dan perlindungan lingkungan serta mitigasi perubahan iklim. Proses tinjauan teknis akan mengevaluasi keselarasan regulasi nasional dengan standar OECD.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto melihat keinginan RI bergabung dengan OECD sesuai kondisi saat ini. Namun, mencapai standar kebijakan yang sejajar dengan negara OECD masih menjadi tantangan yang perlu dikejar Indonesia untuk bisa menjadi negara maju.
“Kalau konsisten dilakukan peningkatan standar ekonomi dan kelembagaan sesuai tujuan OECD, maka potensi untuk perekonomian ke depan akan menguntungkan,” ungkap Eko, pada Minggu, 17 September 2023.
Namun, tingkat ketimpangan yang diukur menggunakan rasio gini di beberapa negara maju semakin tinggi. Sebagai contoh, Amerika Serikat yang sebesar 0,353 pada 1974 menjadi 0,415 pada 2019. Juga Jepang, dengan rasio gini 0,5704 pada 2021.
Menurut Eko, pilihan menjadi negara maju tetap lebih menguntungkan ketimbang tetap menjadi negara berkembang. Karena, tingkat kesejahteraan mereka lebih baik dari negara berkembang, apalagi negara miskin.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga menilai, banyak yang bisa dicontoh Indonesia dari negara anggota OECD selain AS. Contohnya, Denmark, Swedia, Belgia, dan Finlandia telah berhasil mengurangi kesenjangan sosial dan mengakselerasi penurunan emisi karbon dengan menerapkan pajak yang tinggi bagi golongan kaya.
Menurut Bhima, Indonesia perlu meliberalisasi undang-undang (UU) untuk bergabung dalam OECD. Terutama aturan UU soal perizinan, persaingan usaha, hingga perdagangan. Tapi, dia khawatir aturan itu menjadi kesalahan.
“Karena Undang-Undang tentang Cipta Kerja sudah liberal, ditambah bergabung OECD akan semakin bebas perdagangan Indonesia dan memperkecil perlindungan usaha lokal,” imbuhnya.
Adapun angota OECD, yaitu:
1. Australia - 7 Juni 1971
2. Austria - 29 September 1961
3. Belgia - 13 September 1961
4. Kanada - 10 April 1961
5. Chile - 7 Mei 2010
6. Kolombia - 28 April 2020
7. Kosta Rika - 25 Mei 2021
8. Republik Ceko - 21 Desember 1995
9. Denmark - 30 Mei 1961
10. Estonia - 9 Desember 2010
11. Finlandia - 28 Januari 1969
12. Prancis - 7 Agustus 1961
13. Jerman - 27 September 1961
14.Yunani - 27 September 1961
15. Hungaria - 7 Mei 1996
16. Islandia - 5 Juni 1961
17. Irlandia - 17 Agustus 1961
18. Israel - 7 September 2010
19. Italia - 29 Maret 1962
20. Jepang - 28 April 1964
21. Korea - 12 Desember 1996
22. Latvia - 1 Juli 2016
23. Lituania - 5 Juli 2018
24. Luksemburg - 7 Desember 1961
25. Meksiko - 18 Mei 1994
26. Belanda - 13 November 1961
27. Selandia Baru - 29 Mei 1973
28. Norwegia - 4 Juli 1961
29. Polandia - 22 November 1996
30. Portugal - 4 Agustus 1961
31. Republik Slovakia - 14 Desember 2000
32. Slovenia - 21 Juli 2010
33. Spanyol - 3 Agustus 1961
34. Swedia - 28 September 1961
35. Swiss - 28 September 1961
36. Turki - 2 Agustus 1961
37. Inggris (UK) - 2 Mei 1961
38. Amerika Serikat - 12 April 1961
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 23 Feb 2024
Bagikan
Ekonomi dan Bisnis
sebulan yang lalu