Aktivitas persiapan budidaya ikan tauman di kawasan rawa Paminggir, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
UMKM Story

Menolak Sawit, Warga Sapala-Bararawa Bangun Alternatif Penghidupan Lewat Budidaya Ikan

  • Menjelang akhir 2024, warga sepakat membentuk KUPS untuk mengembangkan budidaya ikan tauman, ikan lokal bernilai tinggi yang tahan terhadap perubahan kualitas air.
UMKM Story
Redaksi Starbanjar

Redaksi Starbanjar

Author

STARBANJAR - Kalimantan Selatan selama ini dikenal dengan hutan hujan tropis Pegunungan Meratus yang kaya akan keanekaragaman hayati dan masyarakat adat yang hidup selaras dengan alam. Namun, di luar pegunungan itu, provinsi ini juga menyimpan hamparan rawa gambut yang menjadi tumpuan hidup banyak warga.

Salah satunya berada di Kecamatan Paminggir, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Di wilayah yang sebagian besar berupa rawa itu, masyarakat menggantungkan hidup dari apa yang diberikan alam: menangkap ikan sungai, menggembalakan kerbau rawa, dan memanfaatkan tanaman purun yang bisa diolah menjadi tikar serta kerajinan tangan lainnya.

Kehidupan yang tenang itu sempat terusik ketika rencana konversi lahan rawa menjadi perkebunan kelapa sawit mencuat beberapa tahun lalu. Warga khawatir, kehadiran sawit akan mengubah wajah kampung mereka. Habitat ikan bisa rusak, kerbau kehilangan lahan penggembalaan, dan tanaman purun tak lagi bisa tumbuh.

“Kami tidak bisa hidup lagi kalau itu terjadi,” kata Zakirin, Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Rawa Sejahtera, mengingat keresahan yang mereka rasakan saat itu.

Menolak Sawit, Menemukan Jalan Baru

Kabar rencana perkebunan sawit mulai santer terdengar pada 2017 hingga 2019. Warga Desa Sapala dan Desa Bararawa pun berkumpul dalam serangkaian pertemuan untuk membicarakan masa depan mereka. Setelah banyak diskusi, mereka mengambil keputusan tegas: menolak sawit masuk ke wilayah mereka.

Namun, penolakan bukan akhir dari persoalan. Warga sadar, setelah menutup pintu bagi sawit, mereka harus mencari sumber penghidupan yang lebih lestari. Dari situlah lahir gagasan membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), sebuah payung hukum yang memberi hak kepada warga untuk mengelola rawa secara resmi dan berkelanjutan.

Dengan pendampingan dari Asosiasi Pendamping Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, LPHD Sapala dan Bararawa akhirnya mendapatkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2021. SK itu menjadi tonggak penting perjuangan mereka.

Pada akhir 2024, warga sepakat membentuk KUPS untuk mengembangkan budidaya ikan tauman, ikan lokal bernilai tinggi yang tahan terhadap perubahan kualitas air.
“Budidaya ini bukan hanya bisnis, tapi juga cara kami menunjukkan bahwa rawa bisa dikelola secara lestari dan tetap menguntungkan warga,” ujar Zakirin, lulusan Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat.

Empat Keramba, Ribuan Ikan

Saat ini, empat keramba ikan terapung di rawa menjadi pusat kegiatan kelompok. Dua keramba dikelola KUPS Rawa Sejahtera di Desa Sapala, dan dua lainnya oleh KUPS Rawa Maju di Desa Bararawa. Masing-masing berisi sekitar seribu ekor ikan, total 4.000 ekor.

KUPS beranggotakan 20 orang, terdiri dari 10 perempuan dan 10 laki-laki. Mereka bekerja secara bergiliran, dengan tiga orang khusus bertugas memberi pakan dua kali sehari. Tingkat kematian ikan relatif rendah, rata-rata hanya sekitar 200 ekor dalam setahun.

Harga ikan di tingkat desa berkisar Rp35.000–Rp45.000 per kilogram, sementara di Banjarmasin bisa mencapai Rp50.000. Modal awal sebesar Rp15 juta berasal dari AP2SI, dipakai untuk membeli keramba dan pelampung.

Namun, jalan yang ditempuh warga tak selalu mulus. Biaya pakan menjadi tantangan terbesar, mencapai sekitar Rp400 ribu per boks per hari. Selain itu, pembagian kerja dan penyatuan persepsi antaranggota juga sering kali memunculkan dinamika tersendiri.

Cerita dari Tepi Rawa

Nurhayati, anggota KUPS Sapala, mengingat masa kecilnya saat ikut orang tua menangkap ikan di rawa. Kini, ia mengelola keramba bersama warga lain.

“Dulu semua serba sendiri. Kalau ada masalah, kami tanggung sendiri,” ujarnya. “Sekarang kami berbagi tanggung jawab. Kalau satu keramba bermasalah, semua turun tangan membantu.”

Bagi Nurhayati, menjaga kualitas air adalah pekerjaan paling menantang. “Ikan tauman sangat sensitif. Kalau air keruh atau berubah terlalu cepat, banyak ikan kecil yang mati. Kami butuh pelatihan dan obat-obatan supaya bisa mengatasi itu. Tapi kalau panen berhasil, hasilnya cukup menambah penghasilan keluarga,” katanya.

Cerita serupa datang dari Masrani, nelayan Desa Bararawa. Sebelum bergabung dengan KUPS, ia hanya mengandalkan hasil tangkapan harian. “Sehari biasanya saya dapat Rp50 ribu sampai Rp70 ribu dari ikan papuyu dan haruan,” katanya. “Tapi kalau musim ikan sepi, sering kali tidak cukup. Dengan keramba, kami punya penghasilan tambahan yang lebih pasti.”

Ia menuturkan, kelompoknya memulai usaha ini bersama 19 orang lainnya dengan bimbingan pemerintah desa dan pendamping lapangan. “Budidaya ini mengajarkan kami tentang kerja sama dan manajemen,” ujarnya.

Ahmad Gajali, anggota kelompok lainnya, menceritakan aktivitas mereka yang dimulai sejak pagi. “Pukul tujuh kami sudah di sungai, memberi pakan ikan, mengecek kondisi keramba. Kadang ada hama atau penyakit yang menyerang ikan. Kalau itu terjadi, kami cari solusi bersama,” katanya.

Menjaga Rawa, Menjaga Masa Depan

Budidaya ikan tauman sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 yang mendorong pengembangan silvofishery dalam pengelolaan hutan desa. Dalam Rencana Kelola Perhutanan Sosial 2022–2032, kegiatan ini ditargetkan mampu meningkatkan kesejahteraan warga sekaligus menjaga ekosistem rawa.

Firdaus, perangkat Desa Sapala, melihat perubahan besar pada warganya.
“Dulu mereka berjalan sendiri-sendiri. Sekarang bergerak bersama. Kami di desa ikut mengawal dan memberi informasi soal harga supaya warga tidak dirugikan,” ujarnya.

Latif, perwakilan Desa Bararawa, menambahkan, semangat gotong royong kini semakin terasa. Tantangan tetap ada, seperti menyatukan persepsi dan pembagian kerja antaranggota. 

Meski banyak kemajuan, pekerjaan rumah masih menanti. Penguatan kelembagaan, peningkatan keterampilan teknis, akses permodalan, dan pemasaran menjadi fokus pendampingan AP2SI dan pemerintah desa ke depan.