Gerakan penyelamat bumi murakata dan Walhi mengadu ke sejumlah instansi. Foto: Dok Walhi
Banjar Today

Perjuangan Warga Menolak Tambang di Pegunungan Meratus: Tak Berhenti di Daerah, Kini Sampai ke Jakarta

  • HST merupakan kabupaten yang secara tegas menolak eksploitasi industri ekstraktif skala besar seperti tambang batubara dan sawit.
Banjar Today
Redaksi Starbanjar

Redaksi Starbanjar

Author

STARBANJAR- Temuan aktivitas pertambangan batu bara tanpa izin di Pegunungan Meratus terus menjadi perhatian warga Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan.

Kabar teranyar, sejumlah perwakilan warga yang tergabung dalam Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengadukan masalah ini ke pemerintah pusat.

Warga mendatangi instansi seperti Mabes Polri, Kementerian ESDM, KLHK, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), dan Kantor Staf Presiden (KSP).

"Gembuk bersama Walhi sepakat membawa kasus ini ke tingkat nasional agar dikawal bersama oleh masyarakat Kalsel dan Indonesia pada umumnya," ujar Pelaksana Tugas Sekretaris Gembuk, M Riza Rudy.

Dia menambahkan, perwakilan warga dan aktivis lingkungan mengadukan kasus ini ke pusat lantaran merasa belum adanya upaya hukum maksimal di daerah.

"Pengaduan ini juga merupakan tindak lanjut dari aksi damai pada 25 Oktober 2022 lalu di gedung DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Pada aksi damai tersebut hadir juga Bupati dan Sekretaris Daerah Kabupaten HST," ujar Rudy.

Alasan Penolakan

Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir, setidaknya ada dua kasus pertambangan tanpa izin di HST yang mengemuka ke publik.

Lantaran masalah itu, masyarakat setempat harus serius melaporkan masalah ini ke lintas sektor.

Temuan tambang pertama berlokasi di Desa Mangunang Seberang, Kecamatan Haruyan, HST.

Ribuan karung batu bara yang diperoleh dengan metode tambang manual ditemukan masyarakat pada Agustus 2022 lalu.

Temuan kedua terjadi di Desa Nateh, Kecamatan Batang Alai Timur, HST. Warga melihat langsung kawasan Gunung Titi yang masih wilayah tersebut dikeruk oleh penambang tak berizin.

Bukan tanpa alasan masyarakat setempat melakukan penolakan. Menurut Rudy, HST merupakan kabupaten yang secara tegas menolak eksploitasi industri ekstraktif skala besar seperti tambang batubara dan sawit.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Hulu Sungai Tengah nomor 16 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten Hulu Sungai Tengah Tahun 2005-2025.

Dalam Perda Kabupaten Hulu Sungai Tengah nomor 6 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Hulu Sungai Tengah tahun 2021-2026 juga menegaskan hal yang sama terkait pembangunan yang berkelanjutan.

Staf advokasi dan kampanye Walhi Kalsel, M Jefry Raharja, mengatakan dari sembilan kabupaten di Kalsel yang mencakup wilayah Pegunungan Meratus, HST merupakan satu-satunya yang belum dieksploitasi masif oleh industri ekstraktif.

"Oleh itu, penting menjaga Pegunungan Meratus tetap lestari," tegas Jefry.

Membawa Empat Tuntutan

Dalam aduan ke beberapa instansi, Gembuk dan Walhi membawa empat tuntutan utama.
Tujuan utamanya untuk menyadarkan semua pihak soal pentingnya menjaga Pegunungan Meratus yang masih tersisa.

Pertama, warga dan aktivis lingkungan meminta pemerintah melalui aparat penegak hukum segera menindak pertambangan tanpa izin (PETI) atau tambang illegal yang semakin marak di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.

Kedua, mencabut Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) terutama blok konsesi yang berada di HST.

Ketiga, pemerintah melalui aparat penegak hukum segera menindak mafia dan cukong ilegal loging yang diduga juga melibatkan oknum militer dan aparat kepolisian.

Keempat, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat menghentikan perizinan baru terkait industri ekstraktif tambang batubara atau perkebunan sawit skala besar baik di HST dan di Kalsel.

Manajer kampanye tambang dan energi Walhi Nasional, Fanny Tri Jambore, menyebutkan ada beberapa hal yang membuat situasi yang dialami warga HST terjadi pada hampir semua daerah di Indonesia. Salah satunya sistem yang bobrok dan budaya hukum yang masih belum jelas dan tegas.

“Kebijakan pemerintah daerah yang baik bisa saja tumpang tindih atau diabaikan, bahkan cenderung ditabrak oleh kebijakan pusat. Kita mesti melakukan desentralisasi kembali untuk terimplementasinya kebijakan yang diinginkan masyarakat di daerah dan sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya” jelasnya.