Banjar Update
05 Desember, 2024 15:30 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA—Megaproyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD) belakangan ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Hal ini dipicu oleh sebuah video yang mengungkap penggunaan 10 juta batang bambu sebagai material pengurukan untuk proyek yang bernilai Rp15 triliun tersebut.
Penggunaan bambu sebagai material urugan dalam proyek di atas perairan memang masih jarang ditemui. Namun, TTLSD memilih bambu karena material urug lain, seperti pasir laut, galian C, atau sedimen pasir laut dari kawasan pesisir Demak, dianggap tidak cukup kuat untuk mendukung proyek tersebut.
Terlepas dari inovasi tersebut, megaproyek TTLSD ternyata menjadi sorotan pegiat lingkungan dan masyarakat sipil. Ada sejumlah kerugian yang diterima warga hingga lingkungan sekitar akibat pembangunan tersebut. Mengutip data LBH Semarang, Jumat, 22 November 2024, berikut lima fakta gelap di balik proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak.
Pada 2020, Koalisi Maleh Dadi Segoro meminta kejelasan pemerintah soal nasib nelayan kecil yang akan tertutup aksesnya ke laut. Sayang, hal ini disepelekan pemerintah sampai sekarang. Sepanjang 2024, banyak nelayan di pesisir Semarang seperti di Tambakrejo, Tambak Lorok, Trimulyo dan Terboyo Wetan mengeluhkan soal akses menuju laut.
Alat-alat berat dan tanggul masuk ke area-area tangkapan nelayan yang sudah hidup puluhan tahun di area itu. Proyek TTLSD juga memaksa nelayan kecil harus lebih ke tengah, bersaing dengan kapal-kapal besar.
Tidak jarang para nelayan kecil ini ditegur dan diusir oleh keamanan proyek. Selama pelaksanaan proyek TTLSD, pendapatan nelayan turun jauh. Mereka yang awalnya bisa dapat di atas Rp150 ribu sehari, sekarang turun hanya Rp50 ribu. Padahal biaya hidup belakangan makin tinggi.
Dalam dokumen lingkungan TTLSD, disebutkan bahwa selama pengerjaan proyek sampai selama tanggul beroperasi, akan mengakibatkan perubahan arus laut ke arah Demak yang ada di luar tanggul, yaitu timur Bedono dan Timbulsloko.
Warga pesisir Demak yang 90% pesisirnya sudah tenggelam melihat ada air yang selalu datang dari arah Semarang. Dua tahun terakhir air rob yang datang makin banyak dan tinggi. Hal ini berdampak banyak hal, mulai dari pengungsi ekologis, yaitu korban bedol desa di Demak sampai kehilangan mata pencaharian dan peningkatan biaya hidup.
Mangrove diketahui merupakan tumbuhan yang membutuhkan waktu sangat lama untuk tumbuh. Seringkali mangrove kalah dengan kenaikan permukaan laut ditambah penurunan permukaan tanah. Proyek TTLSD menjadi ancaman karena bakal menggunduli 46 hektare kawasan mangrove yang memiliki pohon berusia hingga belasan tahun.
Hal ini mengkhawatirkan mengingat banyaknya manfaat mangrove. Selain berfungsi sebagai tanggul alami pesisir, mangrove berfungsi menjadi tempat berkembangbiak berbagai jenis kehidupan di laut seperti kerang, ikan, kepiting, udang, rajungan, yang juga merupakan sumber penghidupan nelayan kecil.
Rencananya, TTLSD akan menutup beberapa jalur sungai ke laut. Selain itu akan dibuat kolam retensi seluas 250 hektare dengan anggaran Rp300 miliar. Kolam ini berfungsi menampung air hujan dan sungai yang tertutup, kemudian akan dipompa keluar ke laut.
Rencana ini mencemaskan mengingatkan kondisi daerah aliran sungai di Semarang saat ini buruk. Dari catatan Maleh Dadi Segoro, kedalaman banjir di kawasan sudah naik seleher, area hijaunya tidak sampai 10%, bahkan sebagian besar di bawah 5%.
Dengan kondisi tersebut, air akan sangat banyak dan cepat turun dari area atas ke kolam retensi dan berpotensi menciptakan comberan besar di Kota Semarang. Banjir-banjir besar seperti terjadi tahun lalu di Dinar Mas dan Meteseh tidak akan bisa langsung surut.
Masih ingat kasus viral korupsi “wanita emas” Hasnaeni Moein di Semarang? Waktu itu dia ditangkap karena kasus korupsi dana PT Waskita Beton Precast Tbk. Dia melakukan penyelewengan dana untuk proyek pembangunan TTLSD. Kejagung menetapkan ada kerugian negara sejumlah Rp2,5 triliun dalam korupsi tersebut.
Baca Juga: Ramai- Ramai Tanam Mangrove, Apa Sih Manfaatnya?
Itu dia sejumlah fakta kelam pelaksanaan megaproyek TTLSD. Dalam kasus ini, LBH Semarang mendesak pemerintah lebih komprehensif dalam mengukur dampak pembangunan sehingga tidak merugikan masyarakat dan lingkungan sekitar.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Chrisna Chanis Cara pada 22 Nov 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 05 Des 2024
Bagikan