Nasional
28 Februari, 2024 16:00 WIB
Penulis:Redaksi Starbanjar
STARBANJAR - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan gelar Jenderal Kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Hal tersebut dilakukan saat Rapim TNI-Polri di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, pada Rabu, 28 Februari 2024.
Menurut penilaian SETARA Institute, tindakan yang dilakukan oleh Jokowi dianggap tidak sah dan melanggar hukum. Dalam pernyataannya secara tertulis, SETARA Institute menegaskan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2024 Tentang Tentara Nasional Indonesia tidak mengakui bintang kehormatan sebagai pangkat militer.
Bintang sebagai pangkat militer hanya berlaku bagi anggota TNI yang masih aktif, bukan bagi mereka yang sudah pensiun.
“Jika merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, maka Bintang yang dimaksud dalam UU tersebut adalah Bintang sebagai Tanda Kehormatan, yang menurut Pasal 7 Ayat (3), dalam bentuk Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Pakçi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa,” sebut SETARA Institute.
“Bukan bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan militer,” sambung SETARA Institute.
“Secara lebih spesifik, jika merujuk kepada Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 18 Tahun 2012, pemberian kenaikan pangkat ini juga merupakan tanda tanya besar. Dalam ketentuan umum peraturan ini, disebutkan bahwa Kenaikan Pangkat Istimewa diberikan kepada PNS dengan prestasi luar biasa baik,” ungkap SETARA Institute.
“Sedangkan Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB) diberikan kepada Prajurit yang mengemban penugasan khusus dengan pertahanan jiwa dan raga secara langsung dan berjasa dalam panggilan tugasnya. Dalam 2 kategori ini, tentu Prabowo tidak masuk kualifikasi sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan tersebut.”
SETARA Institute menyatakan pemberian gelar kehormatan kepada Prabowo itu bermasalah. Alasannya karena Prabowo sebelumnya diberhentikan dari dinas kemiliteran berdasarkan KEP/03/VIII/1998/DKP dan Keppres No. 62 Tahun 1998, bukan karena memasuki usia pensiun.
“Dengan demikian, keabsahan pemberian bintang kehormatan itu problematik. Sebuah kontradiksi jika sosok yang diberhentikan dari dinas kemiliteran kemudian dianugerahi gelar kehormatan kemiliteran,” ungkapnya.
SETARA Institute juga menilai pemberian gelar kehormatan jenderal bintang empat kepada mantan Danjen Kopassus merupakan langkah politik dari Jokowi yang dianggap sebagai penghinaan dan penurunan martabat terhadap korban dan pembela HAM, terutama terkait tragedi penculikan aktivis pada tahun 1997-1998.
“Pemberian gelar kehormatan Jenderal Bintang Empat kepada Prabowo merupakan langkah politik Presiden Jokowi yang menghina dan merendahkan korban dan pembela HAM, terutama dalam Tragedi Penculikan Aktivis 1997-1998,” ujarnya.
Menurut SETARA Institute, langkah politik Jokowi dianggap bertentangan dengan hukum negara terkait pemberhentian Prabowo, sementara pada saat yang sama dianggap sebagai tindakan yang merendahkan para korban dan pembela HAM yang terus berjuang untuk mencari keadilan.
“Dugaan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis itu sudah jelas dinyatakan oleh satu lembaga ad hoc kemiliteran resmi yang dibentuk oleh negara bernama Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang rekomendasinya pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran, dan kemudian dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden,” tuturnya.
“Negara jelas menyatakan bahwa Prabowo merupakan pelanggar HAM, berdasarkan keputusan negara.”
Dari segi etika publik, menurut SETARA, pemberian bintang kehormatan oleh Jokowi ke Prabowo dianggap kontroversial.
Mereka menekankan seorang presiden seharusnya lebih memprioritaskan nasib mayoritas rakyat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi serius, terutama karena kenaikan harga beras dan sembako lainnya, daripada melakukan langkah politik seperti memberikan Bintang Kehormatan kepada Prabowo dengan pertimbangan politis.
Seperti usaha untuk membangun hubungan baik dengan Prabowo yang mungkin diharapkan akan mendukung Jokowi sebagai Presiden RI berikutnya.
“Oleh karena itu, SETARA Institute menuntut agar Jokowi mengevaluasi kembali pemberian bintang kehormatan kemiliteran untuk Prabowo. Jika tuntutan ini diabaikan.”
“Maka semakin jelaslah bahwa di ujung periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo lebih sering menampilkan tindakan politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan hukum, melawan arus aspirasi publik, dan mengabaikan hak asasi manusia,” tandas SETARA.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 28 Feb 2024
Bagikan