logo
Embung Nglanggeran di Desa Wisata Nglanggeran.
Banjar Update

Tak Hanya Seru, Ekowisata Bisa Jadi Sumber Penghasilan Warga

  • Ekowisata menghadirkan konsep berwisata yang menyatukan kenikmatan akan keindahan alam dan upaya melestarikannya. Jenis wisata ini memiliki potensi untuk turut memberikan solusi terhadap berbagai tantangan yang muncul dalam pengembangan kawasan pariwisata.
Banjar Update
Redaksi Daerah

Redaksi Daerah

Author

JAKARTA – Pariwisata dianggap sebagai salah satu sektor unggulan yang memiliki peran strategis dalam mendorong pembangunan nasional di Indonesia.

Ekowisata merupakan jenis kegiatan wisata yang mengajak wisatawan mengunjungi daerah terpencil untuk menikmati sekaligus mempelajari keindahan alam, kekayaan sejarah, dan budaya lokal. Aktivitas ini dirancang untuk memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat setempat serta mendukung pelestarian lingkungan secara berkelanjutan.

Dilansir dari awsassets.wwf.or.id, para pelaku dan ahli ekowisata menegaskan pentingnya menerapkan pola wisata yang tidak merusak lingkungan maupun budaya lokal, serta mampu memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan nilai-nilai konservasi.

Ekowisata menghadirkan konsep berwisata yang menyatukan kenikmatan akan keindahan alam dan upaya melestarikannya. Jenis wisata ini memiliki potensi untuk turut memberikan solusi terhadap berbagai tantangan yang muncul dalam pengembangan kawasan pariwisata.

Pengembangan model ekowisata berfokus pada pemanfaatan potensi pariwisata yang mengutamakan pelestarian lingkungan dan budaya.

Dalam prinsip perekonomian, kriteria ekonomi yaitu upaya kegiatan wisata dalam memberkan sumbangan positif terhadap pembangunan ekonomi daerah. 

Indikator prinsip ekonomi terdiri dari:

- Adanya peningkatan PAD

- Perluasan lapangan kerja

- Peningkatan jumlah dan mutu sarpas

- Peningkatan perdagangan produk lokal

- Peningkatan jasa wisata

Pengembangan ekowisata harus mampu memberikan manfaat nyata bagi masyarakat lokal dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi. Hal ini penting untuk memastikan bahwa wilayah yang dikembangkan tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak (balanced development).

Ekowisata Berbasis Masyarakat

Ekowisata berbasis masyarakat merupakan pendekatan pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan partisipasi aktif masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pengelolaan kegiatan ekowisata, serta memastikan mereka memperoleh manfaat langsung dari hasil yang dihasilkan.

Ekowisata yang melibatkan masyarakat berpotensi membuka lapangan kerja dan menekan angka kemiskinan. Pendapatan dari ekowisata berasal dari berbagai layanan pariwisata bagi wisatawan, seperti jasa pemandu, transportasi, akomodasi di rumah penduduk (homestay), serta penjualan produk kerajinan.

Ekowisata dan Konservasi

Sejak 1970-an, organisasi konservasi mulai memandang ekowisata sebagai solusi ekonomi berbasis pelestarian konservasi, karena kegiatan ini tidak merusak alam dan tidak bersifat ekstraktif seperti penebangan hutan atau pertambangan yang berdampak negatif pada lingkungan.

Ekowisata juga dilihat sebagai bentuk usaha yang berkelanjutan baik dari sisi ekonomi maupun ekologi, terutama bagi masyarakat yang hidup di dalam atau di sekitar kawasan konservasi.

Agar keberlanjutan ekowisata terjaga, penting untuk menciptakan kondisi di mana masyarakat memiliki kendali dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan ekowisata, pengaturan jumlah dan alur wisatawan, serta pengembangan kegiatan wisata berdasarkan visi dan harapan mereka untuk masa depan.

Ekowisata dikembangkan tidak hanya sebagai bentuk usaha, tetapi juga sebagai strategi konservasi yang membuka peluang ekonomi baru bagi warga. Dengan pendekatan ini, masyarakat dapat memanfaatkan kekayaan alam, budaya, dan sejarah yang ada tanpa merusak atau mengeksploitasi secara berlebihan.

Desa Wisata Nglanggeran dengan Konsep Ekowisata

Desa Wisata Nglanggeran merupakan salah satu contoh desa yang menerapkan konsep Community Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis partisipasi masyarakat. Keunikan desa ini terletak pada kawasan ekowisata Gunung Api Purba serta kearifan lokal masyarakat menjadi ciri khasnya.

Desa ini menawarkan beragam destinasi dan atraksi wisata yang menarik. Masyarakatnya, yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, pekebun, dan peternak, tetap memelihara nilai-nilai budaya seperti gotong royong, keramahan, rasa hormat, dan kepedulian sosial.

Desa ini terletak di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta, atau dapat ditempuh dalam waktu sekitar satu jam perjalanan dengan mobil.

Dilansir dari desawisatanglanggeran.id, Desa Wisata Nglanggeran berhasil meraih penghargaan ASEAN Sustainable Tourism Award pada tahun 2018 serta ASEAN Community Based Tourism (CBT) Award pada tahun 2017.

Pada tahun 2021, Desa Wisata Nglanggeran juga dinobatkan sebagai salah satu Best Tourism Village oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO), bersama 44 desa dari 32 negara, terpilih dari total 174 desa yang diajukan oleh 75 negara anggota UNWTO.

Pengembangan kawasan Ekowisata Gunung Api Purba diawali oleh inisiatif Kelompok Pemuda Karang Taruna Desa Nglanggeran pada tahun 1999.

Gerakan ini diawali dengan tumbuhnya kesadaran peduli lingkungan, yang diwujudkan melalui kegiatan penanaman pohon bersama masyarakat di area gunung yang sebelumnya gundul dan gersang, diantara bongkahan-bongkahanbatuan besar yang menjulang tinggi.

Melalui berbagai aktivitas aktif dijalankan oleh kelompok pemuda dan masyarakat, pemerintah Desa Nglanggeran kemudian memberikan kepercayaan kepada para pemuda, khususnya Karang Taruna Bukit Putra Mandiri, untuk mengelola lahan seluas 48 hektare.

Penyerahan pengelolaan ini ditetapkan secara resmi melalui Surat Keputusan Kepala Desa Nglanggeran Nomor 05/KPTS/1999 tertanggal 12 Mei 1999.

Warga masyarakat bersama pemuda Karang Taruna mulai melakukan upaya penghijauan di lahan seluas 48 hektare.

Seiring dengan membaiknya kondisi lingkungan yang menjadi lebih asri dan menarik sebagai destinasi wisata, kawasan ini mendapat dukungan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunungkidul melalui kegiatan promosi berupa Familiarization Trip (FAM Tour) pada tahun 2007.

Sejalan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia pemuda Nglanggeran yang menempuh pendidikan dan mulai mengenal teknologi, pemanfaatan media Teknologi Informasi turut memperkuat promosi dan memperkenalkan Gunung Api Purba sebagai kawasan wisata.

Setelah gempa yang terjadi pada 26 Mei 2006, pengelolaan kawasan wisata sempat mengalami kevakuman hingga tahun 2007. Pada tahun tersebut, pemuda Karang Taruna kembali aktif dan mulai mengelola kawasan wisata dengan dukungan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunungkidul.

Untuk memperkuat pengelolaan, dibentuklah sebuah lembaga bernama Badan Pengelola Desa Wisata (BPDW) yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, seperti ibu-ibu PKK, kelompok tani, pemerintah desa, serta pemuda Karang Taruna.

Setelah BPDW dibentuk, disepakati pengelolaan teknis di lapangan dilakukan oleh para pemuda-pemudi Karang Taruna sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba.

Berbagai pelatihan yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunungkidul serta Dinas Pariwisata DIY, ditambah dengan adanya beberapa pengurus yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, turut mendorong kemajuan dalam perkembangan pariwisata di Desa Nglanggeran.

Salah satu perintis Desa Wisata Nglanggeran, Sugeng Handoko, mengembangkan Desa Wisata Nglanggeran sejak masih berada di bangku perkuliahan. “Dahulu, konotasi negatif sangat kuat, KKN pada tidak mau di Gunungkidul karena kering, miskin, nggak ada air, ratau adus,” katanya dilansir dari pariwisata.fib.ugm.ac.id.

Pandangan negatif terhadap kondisi lahan yang kering, tandus, dan kekurangan air justru menjadi motivasi bagi Sugeng untuk mengembangkan konsep ekowisata di Desa Wisata Nglanggeran.

Meski demikian, proses pengembangannya tidak berlangsung cepat karena menghadapi berbagai tantangan, salah satunya adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap potensi pariwisata di wilayah tersebut.

Untuk menumbuhkan kesadaran itu, Sugeng memulainya melalui kegiatan para pemuda dan karang taruna, yang kemudian berkembang menjadi pengelola desa wisata.

Meski bukan berasal dari latar belakang pendidikan pariwisata, Sugeng tetap berupaya keras memahami dan mempelajari konsep serta prinsip-prinsip ekowisata. Hasil dari keberhasilannya menerapkan prinsip-prinsip tersebut kini telah memberikan manfaat nyata bagi berbagai pihak, terutama bagi masyarakat setempat.

Hal ini dimungkinkan karena pengelolaan Desa Wisata Nglanggeran dilakukan dengan semangat partisipatif, yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat lokal. Tercatat ada 13 kelompok warga yang diorganisasi dan diberdayakan dalam sistem pengelolaan desa wisata tersebut.

Seiring berjalannya waktu, daerah di sekitar Desa Wisata Nglanggeran mengalami perkembangan pesat yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata. Ia juga menambahkan bahwa dulu petani merasa malu dengan profesinya, tetapi kehadiran pariwisata justru menjadi bentuk apresiasi kepada mereka.

Pertumbuhan ekonomi ini juga sejalan dengan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Nglanggeran.

Pada tahun 2014, jumlah pengunjung mencapai 325 ribu orang dengan pendapatan sekitar Rp1,4 miliar. Namun, lonjakan wisatawan tersebut juga menimbulkan sejumlah dampak negatif seperti bertambahnya sampah, vandalisme, polusi suara, hingga munculnya sikap masyarakat yang enggan berinteraksi dengan wisatawan.

Situasi tersebut kemudian menjadi bahan evaluasi, hingga pada 2015-2019, pihak pengelola mengambil langkah untuk mengurangi jumlah wisatawan hingga hanya sepertiganya. Dampaknya, masyarakat kembali merasa nyaman dengan adanya aktivitas pariwisata.

Menariknya, tidak serta merta membatasi pengunjung, melainkan dengan pendekatan strategi yang cerdas. Sugeng dan tim pengelola memilih untuk lebih selektif dalam menerima wisatawan, yaitu dengan menyasar pengunjung yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pelestarian alam.

Hasilnya, meskipun jumlah wisatawan berkurang, pendapatan yang diperoleh justru meningkat drastis, mencapai sekitar tiga miliar rupiah dari sekitar 100 ribu kunjungan. Sugeng menegaskan pengembangan pariwisata tidak semata-mata dilihat dari jumlah kunjungan wisata, tetapi seberapa besar manfaat serta kebahagiaan yang dirasakan oleh masyarakat.

Dilansir dari repository.ukdw.ac.id, aktivitas wisata yang berlangsung di Desa Wisata Nglanggeran memberikan kontribusi positif bagi ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat setempat. Salah satu alasan utama munculnya dampak positif tersebut adalah sistem pengelolaan pariwisata yang menekankan partisipasi aktif dari masyarakat lokal.

Dari sisi ekonomi, manfaat yang dirasakan meliputi terciptanya lapangan pekerjaan baru, peningkatan ekonomi masyarakat, serta dukungan terhadap pekerjaan utama yang sudah ada sebelumnya.

Secara sosial, aktivitas pariwisata turut mendorong semangat gotong royong, memperkuat nilai-nilai budaya dan moral, mencegah persaingan usaha yang tidak sehat, serta meningkatkan keterlibatan generasi muda dalam pengelolaan desa wisata.

Di bidang lingkungan, dampak positif terlihat melalui semakin tertatanya pemandangan alam, meningkatnya kesadaran warga dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan, serta kondisi hewan ternak dan tanaman yang menjadi lebih terurus.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 11 Jun 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 13 Jun 2025