Banjar Update
27 Juni, 2024 10:41 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA - Indonesia dan Jepang diketahui kini menunjukkan perbedaan signifikan dalam strategi pengelolaan utang mereka. Masing-masing strategi pengelolaan utang membawa implikasi berbeda bagi perekonomian kedua negara.
Berdasarkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau debt to gdp ratio, Indonesia memang lebih rendah dibandingkan dengan Jepang. Berdasarkan data Trading Economic 2023, rasio utang Indonesia hanya 36,5% PDB, sementara Jepang mencapai 263,90% dari PDB. Namun, memahami besaran utang ini jauh lebih kompleks daripada sekadar melihat angka-angka secara langsung.
Dilansir data BPS, PDB Indonesia pada tahun 2023 mencapai Rp20.892,4 triliun. Meskipun Indonesia memiliki rasio utang yang relatif lebih rendah, ketergantungan pada utang luar negeri dan risiko terhadap fluktuasi nilai tukar serta suku bunga global tetap menjadi tantangan serius.
Dilansir data Bank Indonesia, per Januari 2024, posisi utang Indonesia pada April 2024 telah meningkat menjadi Rp8.338 triliun, setara dengan 36,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Namun yang mengkhawatirkan dari jumlah tersebut utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai US$405,7 miliar atau sekitar Rp6.620,8 triliun kurs (Rp16.380).
Pada tahun 2023, PDB Jepang mencapai US$4,2 triliun dolar AS atau sekitar Rp68.775 triliun. Bila rasio utang Jepang sebesar 263,90 persen maka besar utang Jepang mencapai sekitar Rp181.497 triliun.
Di sisi lain, Jepang, meskipun memiliki rasio utang terhadap PDB yang lebih tinggi, justru Jepang juga menjadi kreditor besar bagi banyak negara, termasuk Indonesia yang menerima pinjaman sebesar US$25,8 miliar atau sekitar Rp422,4 triliun pada tahun 2022.
Perbedaan mencolok terlihat pada strategi pengelolaan utang kedua negara. Ekonom senior Indonesia, Faisal Basri, mengungkap Jepang berhasil memanfaatkan suku bunga rendah dan investasi domestik yang kuat, sementara Indonesia masih bergantung pada pembiayaan eksternal.
“Sebaliknya, surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah (local currency bonds) yang dipegang oleh investor asing relatif sangat besar, bahkan terbesar di antara emerging markets, mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal” terang Faisal Basri, di Laman Pribadinya Faisalbasri.com.
Menurut Faisal Yield surat utang pemerintah Jepang bertenor 10 tahun hanya nol koma nol sekian persen, jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia yang mencapai 8,12 persen.
Faisal juga menekankan bahwa hampir 90 persen surat utang Jepang dibeli oleh warga negaranya sendiri, menjaga sirkulasi dana di dalam negeri.
Sebaliknya, Indonesia memiliki ketergantungan tinggi pada investor asing, meningkatkan kerentanan terhadap gejolak eksternal.
“Hampir seluruh surat utangnya (sekitar 90 persen) dibeli oleh rakyatnya sendiri, sehingga dana pembayaran bunga tetap beredar di dalam negeri. Dengan demikian beban utang tidak besar dampaknya terhadap stabilitas makroekonomi Jepang” tegas Faisal .
Meskipun menghadapi tantangan demografis yang menurun dengan proyeksi kebutuhan 6,7 juta pekerja asing pada 2040, industri Jepang tetap kokoh dengan PDB yang besar.
Sementara itu, Indonesia harus berjuang menyeimbangkan antara kebutuhan pembangunan dan pengelolaan risiko utang.
Pemerintah Indonesia diharapkan dapat mengambil pelajaran dari strategi Jepang, sambil tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi domestik yang berbeda.
Dengan pengelolaan yang bijak, utang nasional dapat menjadi instrumen pembangunan tanpa membahayakan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 26 Jun 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 27 Jun 2024
Bagikan