Ekonomi dan Bisnis
29 Februari, 2024 18:20 WIB
Penulis:Redaksi Starbanjar
STARBANJAR – Transisi Bersih, sebuah lembaga riset nirlaba bidang ekonomi lingkungan hidup, menilai pemilik PLTU perlu ikut berkontribusi pada pembiayaan pensiun dini pembangkit listrik yang dimilikinya.
Hal ini lantaran transisi energi menganut prinsip keadilan berdasarkan peran, yakni biaya transisi energi harus terdistribusi secara proporsional berdasarkan kontribusi emisi. Pihak yang menghasilkan banyak emisi harus menerima beban biaya lebih besar.
Berdasarkan laporan Transisi Bersih “Standar Keekonomian dan Keadilan untuk Penutupan Dini PLTU” mengungkapkan, karena penutupan PLTU merupakan proyek publik yang tidak komersial, tidak akan ada entitas bisnis yang mau membiayainya.
Direktur Eksekutif Transisi Bersih Abdurrahman Arum, menyebut meski demikian, entitas bisnis yang merupakan pemilik dari PLTU juga tidak seharusnya lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai penghasil emisi karbon dan yang telah mendapatkan keuntungan dari beroperasinya PLTU tersebut selama ini.
“Pemilik PLTU termasuk entitas ekonomi yang paling banyak mengeluarkan emisi. Oleh karena itu, berdasarkan prinsip keadilan, mereka seharusnya menjadi salah satu pihak yang menanggung biaya penutupan dalam jumlah yang signifikan. Karena itu cukup fair kalau mereka memberikan diskon biaya penggantian,” katanya dilansir pada Kamis, 29 Februari 2024.
Untuk mencegah penggelembungan valuasi biaya penutupan PLTU, Transisi Bersih merekomendasikan penghitungan dengan model ekspektasi cash flow berdasarkan kontrak. Pasalnya, pemerintah atau PT PLN (Persero) sudah memiliki patokan margin keuntungan bagi IPP. Pihak IPP umumnya juga menyertakan dokumen cash flow untuk mendukung penawarannya.
Laporan ini juga menyebutkan, model pembiayaan pensiun dini PLTU yang paling ideal adalah hibah dari pihak ketiga. Seperti halnya pemilik PLTU, mengacu pada prinsip keadilan, pihak ketiga yang paling relevan yakni entitas ekonomi yang paling banyak menghasilkan emisi dan berpendapatan tinggi. Jika PLTU berada di negara berpendapatan rendah dan menengah, idealnya hibah datang dari negara berpendapatan tinggi.
Terkait Program Just Energy Transition Partnership (JETP), konsorsium International Partners Group (IPG) merekomendasikan penutupan PLTU sebagai salah satu strategi agar Indonesia mencapai target bebas emisi pada 2060. Namun, dari komitmen pendanaan sekitar Rp 310 triliun, kemungkinan mayoritas pendanaannya akan berupa utang. Hal ini berkaca dari program sejenis di Afrika di mana dana hibah hanya sekitar 3%.
Penutupan dini PLTU menjadi strategi penting untuk mengejar komitmen bebas emisi. Indonesia memiliki tiga alasan kuat yang menambah urgensi pensiun dini PLTU.
Pertama, kapasitas pembangkit listrik di Indonesia, secara umum berlebihan. Kedua, dalam beberapa tahun terakhir kualitas udara di kota-kota besar di Indonesia mengalami degradasi secara signifikan.
Penurunan kualitas udara ini berhubungan erat dengan beroperasinya PLTU-PLTU raksasa di pulau Jawa dan kawasan pusat penghasil batu bara yang baru beroperasi dalam beberapa tahun terakhir. Ketiga, sebagian besar PLTU yang beroperasi di Indonesia baru dibangun karena Program 35.000 MW. Artinya, masa operasional PLTU-PLTU baru tersebut masih panjang.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 29 Feb 2024
Bagikan