Bagikan:
STARBANJAR - Sejumlah mahasiswa tergabung dalam aksi Kamisan Kalimantan Selatan bersama Kepemimpinan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (KM FEBI) dan Forum Kajian Hukum Ilmiah (FKHI) menggelar 'Detik Untuk Munir' di halaman UIN Antasari, Kota Banjarmasin.
Puluhan mahasiswa itu memakai topeng berwajah Munir Said Thalib, dan melakukan aksi long march serta menabur bunga dalam memperingati 18 tahun dibunuhnya sosok aktivis HAM tersebut. Aksi itu mendorong sebelum kepastian hukumnya dianggap kedaluwarsa.
Siang itu, mereka melaksanakan diskusi dengan bertajuk: "Detik Ancaman Kadaluarsa Kasus Pembunuhan Sang Aktivis HAM Munir Said Thalib" di Apung Fakultas Syariah (Fasya). Sebagian melingkar dan memenuhi ruangan gazebo, mereka membahas perjuangan Munir serta bagaimana mahasiswa merefleksikan nilai-nilai tersebut.
"Ini upaya merefleksikan 18 tahun kasus pembunuhan Munir," ucap Ketua Kamisan Kalsel, Rizki Nugroho kepada Starbanjar, pada Rabu (7/9/2022) kemarin.
Rizki memandang, sosok Munir ini dapat menjadi tauladan bagi masyarakat Indonesia. Karena, menurutnya sebagai figur yang berpengaruh, serta kekeuh dalam memperjuangkan kasus HAM.
"Kita bisa mempelajari sosok Munir. Dari kajian-kajian dan pergerakkannya itu, tentu menjadi panutanlah," kata dia.
Anehnya, kata Rizki, sosok Munir yang dikenal memperjuangkan keadilan namun kini kematiannya tidak kunjung mendapat keadilan. Kata dia, justeru menjadi pertanyaan masyarakat Indonesia?
"Kematiannya menjadi misteri, serta dalang atau aktor intelektualnya belum ditemukan," tutur mantan Wakil Ketua BEM Uniska Banjarmasin itu.
Kala aksi long march. Koordinator aksi, Arbani mengajak seluruh aktivis yang tergabung untuk menabur bunga di antara bingkai foto wajah Munir. Di atas kain hitam, bertaburlah bunga kuburan itu, serta pernyataan sikap dilantangkan dia dalam mengomando barisan.
"Hidup korban. Jangan diam, jangan diam. Lawan," teriak massa aksi.
Arbani membacakan pernyataan sikap bahwa 18 tahun berlalu cuma dibiarkan negara dan tak kunjung dinaikkannya status pelanggaran HAM berat. Pada 7 September, kata dia, hari ini adalah detik penentuan keputusan. Apakah Presiden dan Komnas HAM berpihak pada korban pembunuhan Munir Said Thalib?
"Oleh karena itu, kami mendesak Presiden dan Komnas HAM untuk segera menetakan kasus pelanggaran HAM berat," baca Arbani dengan lantang dihadapan aksi massa.
Semangat perjuangan Munir, kata Arbani, semoga generasi saat ini dapat mewarisi nilai-nilai tersebut. "Mari kita mendoakan almarhum, menurut kepercayaannya masing-masing. Dan senantiasa, perjuangan beliau tetap kita warisi," ucap dia.
Ketua Umum Lingkar Studi Ilmu Sosial Kerakyatan (eLSISK), Abdu Syahid melihat kasus pembunuhan Munir ini sudah mendekati kedaluwarsa dan jika diabaikan oleh negara, maka dianggap gagal dalam mengawal kasus tersebut.
"Bahkan jika nantinya apabila kedaluwarsa maka bisa kita sebut atau indikasi bahwa negara masih abai. Atas kasus-kasus yang semestinya harus diselesaikan," ucap lelaki berkaca mata ini.
Menurutnya, Munir adalah satu di antara banyak kasus yang diabaikan oleh negara. Pada akhirnya, kata Syahid, cuma dianggap pelanggaran biasa saja. "Memang membunuh adalah pelanggaran HAM. Tetapi apakah dianggap berat atau tidak," ujarnya.
Bagi Syahid, hukum Indonesia akhirnya tidak ada kemajuan dalam prosesnya, terlebih menangani kasus yang dianggap serius. Karena, kata dia, Munir dibunuh yang kemudian kematiannya menjadi misteri, dan tidak dianggap kasus pelanggaran berat.
"Dia (Munir Said Thalib) mati karena mengadvokasi banyak orang. Ketika dibunuh, semangatnya masih ada sampai saat ini," kata Syahid.
Untuk mahasiswa, Syahid menyampaikan agar dapat mewarisi semangat perjuangannya, terlebih peduli terhadap kasus hak asasi manusia (HAM). Apapun itu, kata dia, bisa dilakukan oleh generasi saat ini.
"Selama mengadvokasi orang yang tertindas, serta masyarakat Indonesia yang memerlukan bantuan. Kita lakukan," jelas dia.
Dengan begitu, kata Syahid, dapat mengenang dengan baik sosok Munir untuk Indonesia. "Saya tegaskan Indonesia gagal apabila kasusnya dianggap kedaluwarsa. Jangan salahkan nantinya, Indonesia memiliki dosa masalalu," tandasnya.
Diketahui bahwa Munir dibunuh pada 7 September 2004 dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam melalui Singapura.
Mantan Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu meninggal sekitar dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, pukul 08.10 waktu setempat.