Bagikan:
JAKARTA – G30S PKI adalah suatu peristiwa bersejarah yang terjadi pada malam tanggal 30 September hingga awal 1 Oktober 1965 di Indonesia. Peristiwa itu juga dikenal dengan sebutan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) dan Gestok (Gerakan Satu Oktober).
Upaya pengambilalihan kekuasaan itu meninggalkan luka yang mendalam karena mengorbankan enam perwira tinggi militer di RI. Setelah pemberontakan itu, ratusan ribu warga yang dituduh anggota atau simpatisan PKI dibantai medio 1965-1966.
Di tengah situasi politik dan ekonomi yang tidak stabil saat itu, terjadi lonjakan inflasi yang sangat tinggi. Hal itu menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat untuk menyimpan uang. Jumlah uang yang beredar meningkat seiring dengan kenaikan harga.
Hiperinflasi bahkan melambung hingga 600% pada 1965. Angka minus pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang tinggi. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sempat defisit Rp1.565,6 miliar.
Sejarawan Salim Said dalam bukunya berjudul Gestapu menyebutkan rakyat hidup sangat susah menjelang meletusnya G30S PKI. Salim Said yang waktu itu berumur 21 tahun menyebut situasi inflasi mencapai 650%. Barang-barang sulit ditemukan di pasaran. Harga keperluan sehari-hari pun terus meningkat setiap harinya.
Kenaikan harga tak membuat kualitas barang terjaga, malahan lebih buruk. Salim menyebut mandi dengan sabun Bris keluaran Unilever, sabun produksi dalam negeri terbaik waktu itu, justru menyebabkan kulit jadi bersisik segera setelah badan dikeringkan.
Obat-obatan, terutama antibiotik, juga harus diperoleh di pasar gelap dengan harga mahal. Sementara itu, warga juga harus mengantre panjang untuk mendapatkan beberapa liter beras murah dengan kualitas rendah. Pemandangan antre beras dan minyak pun muncul di mana-mana.
Menghadapi hiperinflasi, pemerintah saat itu mengambil beberapa kebijakan, termasuk devaluasi, redenominasi, pembekuan giro dan deposito, serta sanering. Indonesia pernah mengimplementasikan kebijakan redenominasi rupiah pada 13 Desember 1965.
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Tujuannya untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa menurunkan daya beli, harga, atau nilai rupiah terhadap barang dan jasa.
Saat itu, redenominasi rupiah dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol dari nilai mata uang. Kebijakan ini diterapkan pada era kepresidenan Sukarno. Redenominasi rupiah pada 13 Desember 1965 terjadi secara tiba-tiba.
Dikutip dari ekonomi.bunghatta.ac.id, kebijakan yang tiba-tiba ini diterapkan Bank Indonesia dengan menerbitkan pecahan Rp1 dengan nilai atau daya beli masyarakat setara Rp 1.000 yang lama.
Saat itu, Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden No.27/1965, yang bertujuan untuk menciptakan kesatuan moneter bagi wilayah Indonesia. Peraturan tersebut menyebutkan, semua mata uang akan diredenominasi, yang berarti setiap uang akan dihilangankan tiga angka nol di belakangnya.
Sebagai contoh, uang Rp100.000 akan berubah menjadi Rp100, sementara Rp1.000 akan menjadi Rp1, dan seterusnya. Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai uang. Pada waktu yang sama, uang kertas Seri Hewan dengan nilai Rp2.500 juga ditarik dari peredaran.
Untuk itu, Bank Indonesia mengeluarkan uang kertas baru Seri Sukarno 1960. Meskipun diterbitkan pada tahun 1960, uang ini baru mulai berlaku pada 13 Desember 1965. Nominal yang dikeluarkan meliputi Rp 5, 10, 25, 50, dan 100. Kemudian, pada 20 Februari 1967, nominal Rp 500 dan Rp 1.000 juga mulai beredar.
Saat itu, masih beredar uang kertas Seri Pekerja Rp1.000 (warna merah cokelat) yang ditarik pada 13 Maret 1966, Seri Pekerja Rp1.000 (warna violet) yang ditarik pada 13 Desember 1966, dan Seri Bunga Rp1.000 yang ditarik pada 31 Desember 1966.
Dalam keputusan 1965, ditetapkan kurs Rp1 Baru setara dengan Rp1 Irian Barat. Uang lama dengan nilai Rp5.000 dan Rp10.000 diberikan batas waktu penukaran satu bulan, sementara untuk Rp500, Rp1.000, dan Rp2.500, waktu penukarannya adalah tiga bulan. Sementara, uang kertas pemerintah dan koin dengan nilai Rp100 ke bawah dapat ditukar dengan uang baru setelah dibebani Iuran Dana Revolusi.
Keadaan negara sempat kacau karena masyarakat tidak memahami istilah redenominasi, yang menyebabkan demonstrasi terjadi di mana-mana, terutama pada awal tahun 1966. Akibatnya, Orde Lama pun akhirnya tumbang.
Namun, redenominasi yang dilaksanakan pada tahun 1965 ternyata mengalami kegagalan karena beberapa faktor, salah satunya adalah kondisi psikologis masyarakat yang belum paham sepenuhnya. Akibatnya, inflasi tinggi terjadi di mana-mana. Selain itu, pada saat itu juga terdapat gejolak politik yang sangat tinggi.
Lantas, wacana redenominasi kembali diangkat oleh pemerintah pada tahun 2013. Pemerintah dilaporkan telah menyusun aturan untuk kebijakan penyederhanaan jumlah digit pecahan rupiah.
Pemerintah dikabarkan telah mengajukan Rancangan Undang-Undang Redenominasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan harapan bisa disahkan menjadi Undang-Undang pada 2014. Namun, rencana ini tidak berhasil. Isu mengenai redenominasi kembali muncul pada 2023, tetapi Bank Indonesia membantahnya.
Salah satu tujuan redenominasi rupiah adalah agar perekonomian Indonesia dapat sejajar dengan negara-negara lain, terutama di tingkat regional.
Di mata internasional, penyederhanaan digit mata uang dianggap lebih praktis dan mudah dipahami. Selain itu, redenominasi mencerminkan kesetaraan kredibilitas antara negara berkembang dan negara maju.
Redenominasi juga dinilai memberikan kenyamanan dalam pencatatan keuangan. Saat ini, pecahan mata uang Rupiah termasuk yang terbesar di dunia, setelah Zimbabwe dan Vietnam. Di kawasan Asia Tenggara, pecahan Rp100.000 adalah yang tertinggi kedua setelah Dong Vietnam 500.000.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 30 Sep 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 01 Okt 2024