starbanjar.com
PLTU.jpg
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Aktivis Lingkungan Pertanyakan Klaim “Hijau” di RUPTL 2021-2030

Redaksi Starbanjar
21.10.2021

STARBANJAR – Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 akhirnya diterbitkan. Pemerintah mengklaim RUPTL kali ini disebut sebagai RUPTL “hijau” karena porsi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) mencapai 51,6 persen atau 20,9 gigawatt (GW).

Laporan terbaru yang dikeluarkan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil dunia, antara lain: Recourse, Heinrich Böll Stiftung Washington DC, BankTrack, Trend Asia dan Center for Financial Accountability mengungkap adanya celah dan kegagalan dalam praktik ekuitas hijau karena cenderung hanya menjadi klaim atau greenwashing semata.

“Sebagai konsep pendanaan yang diklaim lebih berwawasan lingkungan, Green Equity pada praktiknya masih menyisakan celah masalah. Celah ini masih memungkinkan pendanaan atas energi kotor batubara tetap dapat dilakukan, walau dengan menyamarkan langkah dan dengan jalan sedikit memutar,” kata Peneliti dan Manajer Program – Trend Asia, Andri Prasetiyo, dalam keterangannya, Kamis (21/10/2021).

Dia menuturkan salah satu studi kasus laporan itu adanya praktik pendekatan ekuitas hijau atau Green Equity Approach (GEA) yang dilakukan International Finance Corporation (IFC), anak usaha kelompok Bank Dunia (World Bank) pada PT Bank KEB Hana Indonesia.

Hana Bank Indonesia merupakan klien pertama dalam program GEA yang diusung IFC. Namun, kurang dari setahun setelah mendaftar ke GEA, Bank Hana Indonesia, beserta perusahaan induk KEB Hana Korea, menandatangani pembiayaan proyek energi kotor PLTU Jawa 9 & 10.

Andri menyebut sebelumnya Hana Financial Group telah berjanji untuk bergabung dalam kampanye anti-batubara. Kampanye ini untuk mendukung target Pemerintah Korea untuk menjadi negara netral karbon pada tahun 2050.

Hana Financial Group menyatakan tidak akan lagi mendanai bisnis yang merusak lingkungan atau melanggar hak asasi manusia.

Dia mengkritik komitmen Hana Financial Group bertolak belakang dari arah kebijakan perusahaan yang masih memberikan dukungan pendanaan untuk pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10.

Dengan begitu ia menyatakan Hana Bank Indonesia harus segera menarik pendanaan mereka di salah satu proyek energi kotor batubara terbesar yang masih tersisa, yaitu proyek PLTU Jawa 9-10. Jika tidak, komitmen induk usaha mereka yaitu Hana Financial Group untuk meninggalkan batubara hanya mengesankan upaya membangun reputasi baik tanpa ada tindakan nyata. Selain itu, pada akhirnya GEA juga tidak akan memberikan kontribusi signifikan dalam transisi energi untuk mengatasi persoalan krisis iklim.

Andri mengatakan pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 akan memperburuk kualitas lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat di sekitar PLTU, dan menambah menambah panjang daftar sumber polutan di wilayah Suralaya.

Sedangkan temuan Trend Asia dan Recourse menunjukkan PLTU Jawa 9 & 10 diperkirakan akan melepaskan rata-rata 250 juta ton karbon dioksida selama 25 tahun masa operasinya, setara dengan emisi rata-rata negara Thailand atau Spanyol.

“Tidak kurang sebanyak 21 unit PLTU telah mengepung Provinsi Banten (Trend Asia, 2020) dan menempatkannya sebagai salah satu provinsi dengan jumlah PLTU paling banyak di Indonesia,” tutup Andri.