Bagikan:
JAKARTA - Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Boby Wahyu Hernawan menjelaskan bahwa Indonesia adalah kawasan yang lebih rentan terhadap terjadinya perubahan iklim dibanding negara-negara lain.
Dikatakan oleh Boby, perubahan iklim telah menjadi isu global yang mendesak dengan dampak signifikan terhadap masyarakat dan lingkungan.
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, sangat rentan terhadap berbagai risiko perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan bencana hidrometeorologis.
“Kita, sebagai negara Indonesia, lebih terpapar (oleh perubahan iklim) karena kita negara kepulauan. Dampaknya lebih besar,” kata Boby acara Media Gathering Kemenkeu di Bogor, Rabu, 29 Mei 2024.
Indonesia sendiri mengalami kenaikan permukaan laut sekitar 0,8 cm-1,2 cm pertahunnya akibat perubahan iklim sementara 65% penduduk tinggal di daerah pesisir.
Perubahan iklim pun meningkatkan frekuensi dan tingkat paparan terhadap bencana hidrometeorologis yang saat ini mendominasi sekitar 80% dari total bencana di dalam negeri.
Pemanasan planet, naiknya permukaan laut, bencana alam yang lebih sering dan parah, perubahan pola curah hujan, dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah konsekuensi dari perubahan iklim yang memiliki dampak signifikan dan luas bagi masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia.
Pada tahun 2020, emisi GRK per kapita di Indonesia mencapai 2.24 ton CO2E perkapita, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 2,7% secara Compounded Annual Growth Rate (CAGR) sejak tahun 2000.
Tingkat pertumbuhan emisi GRK masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) perkapita yang mencapai 3,4%.
Baca Juga: Penerapan Gaya Hidup Berkelanjutan di PLN Mendapat Respons Positif Berbagai Kalangan
Pada tahun 2022, Indonesia mencatat emisi CO2 tahunan sebesar 648 juta ton CO2e, menempatkannya di peringkat ke-11 dunia.
Data ini hanya mencakup emisi dari penggunaan bahan bakar fosil dan industri, tidak termasuk emisi dari sektor Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (Forest and Other Land Uses/FOLU).
Selain itu, emisi CO2 perkapita di Indonesia juga menunjukkan peningkatan dari 2,3 ton pada tahun 2021 menjadi 2,6 ton pada tahun 2022. Meskipun ada peningkatan, angka ini masih berada di bawah rata-rata dunia dan merupakan yang terendah ketiga di antara negara-negara G20.
Boby menyebutkan bahwa dalam upaya mencapai agenda Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emissions, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan dekarbonisasi yang kuat.
Kebijakan ini merupakan langkah strategis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menjaga keseimbangan ekosistem.
Boby menyebutkan bahwa pada periode 2016 hingga 2022, uang pajak senilai Rp569 triliun telah disalurkan dari belanja pemerintah pusat untuk mengatasi perubahan iklim.
Implementasi penandaan anggaran perubahan iklim dikatakan Boby telah membantu pemerintah dalam mengidentifikasi belanja untuk aksi perubahan iklim.
“Secara kumulatif, belanja untuk aksi perubahan iklim pemerintah sejak 2016 sampai 2022 mencapai Rp569 triliun,” kata Boby.
Boby meyatakan bahwa setiap tahunnya, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp81,3 triliun atau 3,5% dari APBN untuk aksi perubahan iklim Angka ini terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara lain yang rata-rata alokasinya masih di sekitar 2%.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 30 May 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 30 Mei 2024