starbanjar.com
Tela Cake
Tela Cake

Cerita Oya ‘Angkat Derajat’ Singkong lewat Usaha Kuliner Tela Cake

Redaksi Starbanjar
12.10.2020

Usaha kuliner berbahan dasar sederhana seperti singkong belakangan waktu terakhir digandrungi pelaku UMKM bidang makanan dan minuman. Selain ongkosnya murah, produk kuliner dari bahan ini bisa diolah beragam varian. Oya (23 tahun), telah membuktikan itu lewat bendera bisnis yang ia namai Tela Cake.

***

Melalui usaha ini, dia mengangkat derajat singkong yang mulanya sederhana menjadi kue mini berbentuk segi enam dengan warna khas kuning cerah. Oya bercerita bahwa ia mendapatkan resep ini dari keluarga yang diwariskan dari turun-temurun.

Efisiensi modal dan keuntungan juga menjadi salah satu alasann mengapa memilih singkong ketimbang bahan lainnya. Ia menjelaskan pengeluaran modal produksi kue buatannya lebih murah dua kali lipat ketimbang menggunakan tepung terigu.

“Tapi, tentu ada resikonya. Tidak seberhasil memakai terigu yang 100 persen, memakai singkong kadang hasilnya bisa 60 persen jadi, sisanya gagal ngembang. Tergantung stok jenis singkong yang ada di pasar,” tambah Oya mendeskripsikan.

Nama Tela Cake,terinspirasi dari bentuk afiks dari Ketela yang menjadi bahan baku utama pembuatan produknya. ‘Tela’ diambil dari penggalan kata “Ke-tela” dengan maksud untuk menguatkan brand image miliknya benar-benar terbuat dari bahan baku yang belum banyak dipakai dalam pembuatan kudapan ringan masa kini, begitulah yang diterangkan oleh Oya saat itu.

Berangkat dari acara-acara sekolahan khas SMA seperti classmeeting, event perkenalan budaya, hingga hari ulang tahun sekokah, ia mulai merintis usahanya dan memperkenalkan wadai kukus yang terbuat dari singkong kepada teman-temannya. Ia bercerita bagaimana ia harus membagi waktunya bersekolah dengan waktu produksi kue-kue tersebut dengan cerdik kala itu. Beruntungnya kala itu konsumennya hanya teman-teman sekitarnya dan jika ada event dalam sekolahnya maupun dari SMA lain.

“Waktu SMA dulu, aku jualannya sekalian sekolah. Jadi kalo ada temen yang mesan aku bikinin dan bawa ke kelas. Awalnya mereka bingung ada wadai dari singkong, sekali mencoba akhirnya lumayan banyak yang suka,” jelas Oya tengah dirinya bercerita. 

Ia awalnya coba-coba menjualnya karena ketika dirinya masih berada di kelas XXI SMAN 2 Banjarmasin. Ia dan beberapa orang temannya ditugaskan untuk mengisi stand yang sudah disediakan pada sebuah acara yang diadakan oleh sekolah. Hal itu menjadi momentum kuat Oya untuk memperkenalkan lebih luas kue buatan khas resep keluarganya.

Kini, ia mampu memenuhi permintaan kue di 7 lokasi di Banjarmasin dan tetap konsisten melayani permintaan pelanggannya secara daring dengan sistem pre-order. Tak tanggung, ia mampu memproduksi total 100-150 pcs kue bentuk reguler perharinya dan mendistribusikan kue-kue tersebut ke Pasar Lama, Pasar Sungai Andai, Jalan Pangeran, Pasar Pandu, Pasar Sungai Lulut, Rawasari, dan Soetoyo S.

Rata-rata 4-5 pcs kue bentuk besar juga ia produksi setiap hari untuk memenuhi permintaan daring para pelanggan tetapnya. Ia mengaku pernah sampai kewalahan menangai permintaan salah satu pelanggannya dan akhirnya meminta bantuan keluarga untuk memenuhi jumlah pesanan yang diminta.

“Beberapa waktu yang lalu ada pelanggan yang mesannya sampai 1.000 pcs dan harus jadi besok harinya untuk suatu acara. Aku sendiri tidak mungkin sanggup dong, bayangkan saja. Jadi aku ajak tante-tanteku untuk membantu produksi kala itu,” pungkasnya cukup ekspresif.

Di sisi lain, ia juga mulai mengembangkan beberapa varian baru produknya agar konsumen tidak jenuh dengan produknya yang ‘itu-itu saja’. Semua itu dilakukannya mulai sesama kuliah dari tahun 2015 hingga saat ini.

“Aku mulai menjual untuk umum ketika kuliah. Sembari ku kuliah, setiap hari aku bagi waktu. Jadi dari subuh ke pagi ngurus kue, ntar sudah agak siangan baru masuk kuliah, sehabis meantar kue ke pasar dan ke toko-toko biasanya,” sisipnya.

Sanggup raup omzet jutaan rupiah tiap bulannya, Oya mengaku sekarang tidak terlalu memikirkan laba meskipun dulunya ia bercerita sempat jatuh sakit karena terlalu memforsir diri mengejar omzet tinggi dan pesanan yang padat kala itu. “Pernah ada yang mesan minta antarkan jam 3 pagi, habis ngantar langsung ke pasar lagi nyetok bahan baku untuk stok produk harian, lanjut buat, dan mengantar ke toko-toko & pasar kemudian lanjut kuliah,” tuturnya.

Oya sendiri bercita-cita ingin mempunyai satu toko kue. Namun, karena pandemi dan ia harus menuntaskan skripsinya tahun ini membuat keinginan yang seharusnya terwujud tahun ini tertunda ke tahun depan. Bukan tanpa alasan, ia ingin suatu saat ini dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi orang lain melalui Tela Cake yang ia kembangkan sedari dulu.

“Pandemi ini kan semua orang pasti terdampak apalagi pekerjaan, banyaknya bermunculan orang-orang baru di bisnis ini justru membuatku merasa lebih kompetitif saja. Istilahnya, kita memberi kesempatan gasan orang berjualan, dan cita-citaku memang mau membukakan pekerjaan gasan orang melalui tela cake ini,” ungkap Oya.

Ditanya soal kompetitor, ia menerangkan dulu sempat ada ketika ia masih duduk di bangku SMA. Bahkan, ia mengungkapkan bahwa jika ada yang mau membuka usaha dengan produk yang sama seperti miliknya, ia tidak akan merasa tersaingi karena menurutnya rejeki itu sudah ada yang mengatur dan sudah ada ketentuannya.

“Pintar bersyukur dan kalo bisa jangan saling menjatuhkan sama lain walau bersaing, kreatif, dan jangan lupa untuk memperkuat identitas,” tambah Oya menutup pernyatannya.