starbanjar.com
ICJR
ICJR

ICJR Kritik PP Hukuman Kebiri yang Diteken Jokowi

Redaksi Starbanjar
05.1.2021

STARBANJAR - Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitas dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak pada 7 Desember 2020.

PP Nomor 70/2020 itu adalah aturan turunan dari UU Nomor 17/2016 tentang Penetapan peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak. Beleid ini mendapatkan kritik dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu berpendapat bahwa hukuman kabiri kimia adalah aturan yang bersifat populis. Sampai saat ini komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur karena tidak lengkapnya peraturan mengenai korban kekerasan seksual dan anggaran lembaga yang menangani korban seperti LPSK yang terus dipangkas adalah contoh sederhana.

“Sedari awal ICJR tekankan, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis hukuman seperti apa yang dimuat dalam UU 17/2016, sampai detik ini, efektifitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti,” ujar Erasmus dilansir dari situs ICJR, Selasa (5/1/2021).

Maka jelas pelaksanaannnya yang melibatkan profesi yang harus melakukan tindakan berdasarkan kondisi klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah.

“Dalam PP ini tidak dijelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan, PP ini bahkan melempar ketentuan mengenai penilain, kesimpulan dan pelaksanaan yang bersifat klinis pada aturan yang lebih rendah,” katanya.

Selain itu, PP ini memuat banyak permasalahan karena tidak detail dan memberikan keterangan yang jelas, misalnya bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan pendanaan. Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali.

“Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih tehknis karena kebingungan dalam pengaturannya,” ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini.

Dalam kritik yang disusun ICJR, KPI, Ecpat dan Mappi FH UI pada 2016, sedari awal ide tindakan kebiri dicetuskan, telah terbukti dalam praktik di negara lain bahwa menyiapkan dan membangun sistem perawatan kebiri kimia yang tepat membutuhkan banyak sumber daya dan mahal.

Sampai dengan saat ini, pihak pemerintah dan kementerian-kementerian terkait tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal ini.

“Terlebih sistem ini tidak sesuai dengan pendekatan kesehatan. Dari proyeksi yang bisa dilakukan, maka anggaran yang dikeluarkan tidak akan sedikit, karena selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia,” ucap Erasmus.

ICJR juga mengkritik minimnya anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana. Berdasarkan data anggaran LPSK, ditemukan bahwa sejak 2015 sampai dengan 2019 jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat, pada 2015 hanya 148 layanan, 2019 menjadi 9.308 layanan, namun anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 sampai dengan 2020 konsisten mengalami penurunan, bahkan cukup signifikan.

Anggaran LPSK pada 2015 berjumlah Rp148 miliar, sedangkan pada 2020 anggaran layanan LPSK hanya disediakan Rp 54.5 miliar, padahal kebutuhan korban meningkat. Sebagai catatan, pada 2019, anggaran yang terkait dengan layanan terhadap korban hanya sebesar Rp 25 miliar.

Bandingkan dengan alokasi anggaran di lembaga penegakan hukum lainnya untuk sasaran yang tidak substansial, misalnya hasil studi ICW soal aktivitas digital pemerintah, ditemukan anggaran paling banyak dari 2014-2020 dipegang oleh kepolisian yang mencapai Rp 937 milyar.

“Angka ini jelas jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran yang disediakan untuk pendampingan, perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana, termasuk korban kekersan seksual di Indonesia,” tuturnya.

Dengan adanya PP 70/2020 ini negara justru seolah menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku. Padahal korban masih menjerit harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri. Politik anggaran dari pemerintah yang selalu memangkas kebutuhan anggaran dari pemulihan dan perlindungan korban seperti LPSK menunjukkan bahwa perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas negara.

Selain anggaran, sampai saat ini, Indonesia belum memiliki pengaturan yang komprehensif dalam satu aturan terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual, berdasarkan tinjauan ICJR, aturan pemulihan korban kekerasan seksual tersebar dan berbeda-beda minimal di 5 undang-undang (UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU TPPO, UU PKDRT, UU Perlindungan Anak dan UU SPPA), perlu adanya satu UU baru yang dapat merangkum dan secara komprehansif menjangkau semua aspek perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.

Untuk itu, ICJR tetap menekankan pentingnya negara mempertimbangkan soal prioritas perlindungan dan pemulihan korban, hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan peningkatan anggaran lembaga yang bertugas pada pelayanan pemulihan dan perlindungan korban, serta penyusunan aturan atau undang-undang yang secara komprehensif mengatur perlindungan dan pemenuhan korban.

Wacana seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban atau RUU Penghapusan Kekersan Seksual yang berbasis pemulihan korban sudah harus mulai dicanangkan dan dibahas.

“Untuk Pemerintah, cukupkan lah fokus pada kebijakan yang hanya bersifat populis seperti kebiri, saatnya beralih pada mekenisme perlindungan dan pemulihan korban,” tutup Erasmus.