Bagikan:
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Republik Indonesia dikabarkan telah menerbitkan aturan terbaru yaitu Peraturan OJK (POJK) Nomor 9 Tahun 2024. Peraturan ini mengatur penerapan tata kelola bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR Syariah).
POJK Nomor 9 Tahun 2024 disusun untuk mendorong penerapan tata kelola dalam operasional BPR dan BPR Syariah. Selain itu, peraturan ini bertujuan untuk melaksanakan mandat yang tercantum dalam Pasal 20B Undang-Undang Perbankan dan Pasal 34 Undang-Undang Perbankan Syariah yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Beberapa perubahan substansial dalam POJK ini antara lain:
Pemberhentian atau penggantian Direksi dan/atau Dewan Komisaris harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Direksi dan/atau Dewan Komisaris dinilai tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam pengelolaan dan pelaksanaan strategi BPR dan BPR Syariah.
b. Keputusan pemberhentian atau penggantian anggota Direksi tidak didasarkan pada penilaian subjektif dari pemegang saham, melainkan penilaian objektif terkait pengelolaan BPR dan BPR Syariah.
c. Pemberhentian atau penggantian anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris harus melalui perencanaan dan mekanisme yang berlaku, dengan memperhatikan penilaian dari anggota Dewan Komisaris atau komite remunerasi dan nominasi, serta telah diagendakan dalam RUPS.
d. Pemberhentian atau penggantian anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris tidak boleh mengakibatkan permasalahan dalam pengorganisasian atau membahayakan kelangsungan usaha BPR dan BPR Syariah.
Laporan pelaksanaan tata kelola semesteran pertama kali disampaikan untuk laporan posisi akhir bulan Desember 2024, yang harus disampaikan paling lambat akhir bulan Januari 2025.
Sementara itu, laporan pelaksanaan tata kelola tahunan pertama kali disampaikan untuk laporan posisi akhir bulan Desember 2024, yang harus disampaikan paling lambat akhir bulan April 2025.
GRC secara terintegrasi berarti adanya koordinasi yang terpadu antara fungsi tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan dalam mendukung proses pengambilan keputusan. Koordinasi ini didukung dengan kebijakan atau prosedur yang diperlukan.
Mantan Direksi atau Pejabat Eksekutif yang diajukan sebagai komisaris independen di BPR dan BPR Syariah yang sama wajib menjalani masa tunggu minimal 6 bulan.
Masa tunggu ini dihitung sejak yang bersangkutan diberhentikan sebagai Direksi atau Pejabat Eksekutif hingga diangkat dalam RUPS sebagai Komisaris Independen.
Untuk memperkuat koordinasi fungsi audit intern dengan OJK, POJK ini mengatur kewenangan OJK untuk meminta BPR dan BPR Syariah mempresentasikan rencana dan realisasi program audit tahunan.
BPR dan BPR Syariah dengan modal inti minimal Rp50 miliar diberikan waktu hingga 31 Desember 2025 untuk membentuk komite audit intern, komite pemantau risiko, dan komite remunerasi dan nominasi, serta memenuhi ketentuan komisaris independen sebesar 50% dari jumlah anggota Dewan Komisaris.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 19 Jul 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 19 Jul 2024