starbanjar.com
Ilustrasi petani sedang menggarap sawah
Ilustrasi petani sedang menggarap sawah

Jaga Ketahanan Pangan, Pemerintah Kembangkan Food Estate di Kalteng

Nurul Khasanah
29.6.2020

STARBANJAR - Pemerintah bakal menggarap program food estate atau cetak sawah di Kalimantan Tengah. Tak tanggung-tanggung pembangunan tahap pertama, pemerintah sudah mengalokasikan lahan 30.000 hektare lahan persawahan yang berada di lokasi wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Anggaran yang disiapkan untuk menggarap megaproyek ini sebesar Rp 6 triliun.

“Anggaran sebesar itu rencananya disediakan selama 3-4 tahun ke depan,” kata Airlangga dilansir dari Trenasia, Minggu (28/6/2020).

Dia menjelaskan, tahap awal yang akan dilaksanakan adalah pembangunan dan perbaikan irigasi di sekitar lahan pertanian Pulang Pisau dan Kapuas. Setelah itu, disediakan sarana dan prasarana produksi, baik bibit, pupuk, obat-obatan, dan lainnya.

Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan permintaan pemerintah Kabupaten Pulang Pisau agar luas lahan pertanian satu hamparan mencapai 30.000 hektare, tentu dapat direalisasikan. Apalagi setelah dilihat langsung kondisi tanah dan hamparannya cukup bagus ditanami padi.

Dia menyebut pemerintah pusat bersama Pemprov Kalteng dan Kabupaten Kapuas serta Pulang Pisau telah menggelar rapat berkali-kali terkait food estate.

“Kami ke sini (Pulang Pisau) karena ingin merekomendasikan kepada Presiden RI untuk datang ke sini. Hingga nanti presiden mencanangkan lumbung beras nasional food estate untuk Indonesia ada di Kalteng,” imbuh Airlangga.

Dalam kunjungan kerja itu, Menko Perekonomian didampingi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga, dan Gubernur Kalteng Sugianto Sabran.

Food Estate Dihantui Kegagalan Masa Silam

Megaproyek ketahanan pangan alias food estate di Indonesia punya rekam jejak buruk dari pemerintahan ke pemerintahan.

Cetak sawah di lahan gambut telah coba dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pada 1970 Presiden kedua Indonesia ini memiliki keinginan membuka kawasan padi (rice estate) di lahan gambut di Sumatra Selatan.

Kemudian ambisi ini kembali muncul pada 1995 dengan program lahan gambut (PLG) satu juta hektare. Wilayah Kalimantan Tengah menjadi prioritas karena memiliki banyak lahan gambut.

Proyek ini berakhir dengan kegagalan karena lahan gambut tidak berhasil untuk menanam padi. Para kelurga petani transmigran yang dikirim dari Jawa pun banyak yang memilih meninggalkan lahan.

Kemudian pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), food estate kembali digaungkan melalui pembukaan lahan seluas 100.000 Ha di Ketapang, Kalimantan Barat, dan 200.000 Ha di Kalimantan Timur. Akan tetapi, bukannya hasil maksimal yang didapat, proyek ini justru berujung pada kasus korupsi.

Bareskrim Mabes Polri mencokok Direktur Utama PT Sang Hyang Seri (Persero) Upik Rosalina Wasrin, dan menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi cetak sawah fiktif 2012-2014 di Ketapang, Kalimantan Barat. Saat itu, Upik juga menjabat sebagai ketua tim kerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Peduli 2012.

Upik Rosalina saat itu menetapkan Ketapang sebagai lahan cetak sawah tanpa melakukan investigasi terlebih dahulu. Ketika itu Kementerian BUMN mempercayakan proyek tersebut kepada PT SHS. Proyek senilai Rp317 miliar itu juga melibatkan perusahaan pelat merah lainnya.

Ketika Joko Widodo menjabat sebagai presiden periode pertama, tepatnya pada 2015, Jokowi juga menjalankan proyek food estate melalui pembukaan 2,5 juta Ha lahan di Merauke, Papua. Saat itu Jokowi melihat potensi luas lahan yang bisa dimanfaatkan untuk Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 1,2 juta Ha, khusus untuk pertanian padi.

Seiring berjalannya waktu, dari target 1,2 juta Ha yang diminta, Pemerintah Kabupaten Merauke menyebut hanya 350.000 Ha saja yang akan dioptimalkan. Ini juga bertujuan agar tidak ada konflik vertikal dengan masyarakat adat.

Setelah gagal berkali-kali, food estate kini justru menyasar bekas lahan proyek pangan yang gagal di masa Orde Baru.