Bagikan:
STARBANJAR- PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah mengalami penurunan bisnis yang signifikan sejak pandemi COVID-19. Emiten pelat merah ini memiliki utang hingga Rp70 triliun pada 2020.
Komisaris Independen Garuda Indonesia Yenny Zannuba Wahid mengungkap upaya paling penting yang akan dijalani perseroan ialah restrukturisasi dan penyesuaian pengeluaran. Anak mantan Presiden Gus Dur itu menyebut tengah berjuang keras agar emiten berkode GIAA itu tidak dipailitkan.
“Yang paling utama adalah debt restructuring & cost restructuring, di dalamnya termasuk renegosiasi leasing contract. Garuda adalah national flag carrier kita yang harus diselamatkan,” kata Yenny dalam akun Twitter resminya, Sabtu, 30 Mei 2021.
Opsi penyelamatan Garuda Indonesia juga sudah direncanakan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam dokumen yang diterima TrenAsia (partner resmi Starbanjar.com) Kementerian BUMN telah menyiapkan empat opsi penyelamatan GIAA.
Keempat opsi ini muncul setelah Kementerian BUMN meninjau upaya penyelamatan maskapai di negara lain.
Opsi pertama, pemerintah memberikan suntikan ekuitas atau pinjaman. Meski bisa meringankan biaya operasional perusahaan, opsi ini dinilai menimbulkan potensi warisan utang yang tinggi dalam beberapa waktu ke depan.
Upaya ini pernah dilakukan ke maskapai negara lain seperti Singapore Airlines (Singapura), Air China (China), dan Cathay Pacific (Hong Kong).
Kedua, pemerintah melakukan intervensi hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi GIAA. Langkah ini bisa memuluskan restrukturisasi kewajiban perusahaan yang meliputi utang, sewa, hingga kontrak kerja.
Adapun proses yang ditempuh ialah legal bankruptcy process dengan opsi yuridiksi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Selain itu, pemerintah juga bisa menggunakan opsi yuridiksi asing seperti U.S Chapter 11 (Amerika Serikat) dan foreign jurisdiction (Inggris).
Kendati demikian, Kementerian BUMN memberikan catatan bahwa opsi ini hanya memperbaiki sebagian masalah, antara lain utang dan sewa. Lebih dari itu, opsi ini tidak menyelesaikan masalah fundamental berupa kultur dan hukum.
Langkah perlindungan kepailitan ini tercatat pernah dijalankan oleh Latam Airlines (Chili), Malaysia Airlines (Malaysia), dan Thai Airways International (Thailand).
Ketiga, Kementerian BUMN membuka opsi pendirian maskapai nasional baru. Di saat yang bersamaan, Garuda Indonesia bakal melaksanakan restrukturiasinya.
Perusahaan baru ini bakal mengambil alih sebagian besar rute Garuda Indonesia dan menjadi national flag carrier di pasar domestik. Upaya ini pernah diterapkan pada dua maskapai di Eropa, yakni Sabena Airlines (Belgia) dan Swiss Air (Swiss).
Kendati demikian, mendirikan perusahaan baru bukan lah persoalan yang mudah. Kementerian BUMN harus menyiapkan dana US$1,2 miliar atau Rp17,16 triliun (asumsi kurs Rp14.300 per dolar Amerika Serikat).
Terakhir, pemerintah membiarkan sektor swasta masuk ke Garuda Indonesia melalui langkah likuidasi. Masuknya sektor swasta diklaim Kementerian BUMN bisa menghadirkan ceruk pendapatan baru, misalnya pajak bandara.
Konsekuensi dari opsi ini adalah hilangnya status Garuda Indonesia sebagai national flag carrier. Praktis, Merpati Nusantara Airlines bakal menjadi maskapai nasional tunggal. (LRD)
Namun, Merpati Nusantara Airlines pun tengah mengalami kesulitan keuangan. Maskapai ini dilaporkan tengah dikelola Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Langkah likuidasi ini tercatat pernah diimplementasikan Varig Airlines (Brasil) dan Malev Hungarian Hungarian Airlines (Hongaria).
Hingga saat ini, Garuda Indonesia tengah berjuang menekan keuangan dengan pengurangan armada pesawat hingga 50% dan penawaran pensiun dini bagi karyawan berusia di atas 45 tahun.