Bagikan:
JAKARTA - Indonesia dikenal sebagai negara yang memproduksi minyak sawit terbesar di dunia. Meski begitu, dikabarkan kini Indonesia tengah menjalankan program biodiesel yang ambisius. Namun, pelaksanaan program ini menuai beragam perhatian, terutama terkait dampaknya terhadap ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan potensi dampak kerusakan lingkungan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa jika program biodiesel dijalankan secara terburu-buru, hal ini dapat mengakibatkan pemangkasan signifikan terhadap jumlah ekspor CPO.
“Kita ini produsen terbesar minyak sawit di dunia, tetapi di satu sisi kita adalah konsumen minyak sawit terbesar di dunia,” terang Eddy, kala konferensi pers di Kantor Pusat Gapki di Jakarta, dilansir Rabu, 23 Oktober 2024.
Eddy mengingatkan penerapan program biodiesel yang terburu-buru justru dapat menyebabkan penurunan potensi devisa ekspor. Padahal pada tahun 2023, industri sawit Indonesia berhasil menyumbangkan devisa sebesar Rp600 triliun.
Saat ini, sawit merupakan penyumbang devisa terbesar kedua setelah batu bara. Jika biodiesel diterapkan tanpa persiapan yang matang, posisinya bisa tergeser. "Nah bisa jadi kalau nanti ini dipaksakan dengan turun terus, ya berarti bisa bergeser sampai mungkin di bawah nikel," tambah Eddy.
Disisi lain, program biodiesel juga membawa peluang, terutama dalam meningkatkan permintaan produk sawit dalam negeri. Agar dapat memenuhi lonjakan permintaan tersebut, pemerintah perlu meningkatkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Dengan tingkat biodiesel yang lebih tinggi, kebutuhan CPO pun diprediksi akan meningkat secara signifikan. Misalnya, untuk program B35, kebutuhan CPO diperkirakan mencapai 11 juta ton untuk biodiesel dan 10,3 juta ton untuk pangan.
"Kalau untuk B35 kita kebutuhan untuk pangan 10,3 juta ton. Kemudian untuk kebutuhan biodiselnya, yang B35 itu sekitar 11 juta ton," ujar Eddy. Sementara jika diterapkan B40, B50, dan B60, kebutuhan tersebut masing-masing akan meningkat menjadi 14 juta ton, 17,5 juta ton, dan sekitar 22 juta ton.
"Kemudian bagaimana B50? Kebutuhan untuk biodieselnya sendiri, untuk bahan baku itu 17,5 juta ton. Bagaimana dengan B60? Udah pasti di atas 20 juta ton, sekitar 22 juta ton," ujar Eddy.
Di balik proyeksi kenaikan permintaan ini, terdapat dampak negatif yang harus diwaspadai. Eddy memaparkan bahwa jika program B50 diterapkan, ekspor CPO dapat mengalami penurunan hingga 6 juta ton. Jika B60 diterapkan, penurunan ekspor bisa mencapai 10 juta ton.
Jumlah tersebut adalah angka yang signifikan bagi perekonomian yang bergantung pada ekspor sawit. Eddy Martono menegaskan pentingnya dialog antara pemerintah dan pelaku usaha untuk memastikan program biodiesel dapat dilaksanakan tanpa mengorbankan sektor ekspor.
Ia percaya bahwa pemerintah tidak akan terburu-buru dalam mengimplementasikan program ini, melainkan akan melibatkan pengusaha dalam diskusi mendalam untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan.
Selain itu, permintaan CPO yang tinggi sering kali mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit. Hal ini menyebabkan deforestasi besar-besaran, terutama di hutan hujan tropis, yang berfungsi sebagai habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna.
Deforestasi ini berkontribusi pada hilangnya keanekaragaman hayati dan mengancam spesies langka. Dengan adanya perencanaan yang matang, diharapkan program biodiesel dapat berjalan seiring dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan dalam negeri dan ekspor.
Kondisi ini akan memastikan industri sawit tidak hanya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi lokal tetapi juga tetap menjadi andalan devisa bagi negara. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan potensi biodiesel sambil tetap menjaga keberlanjutan dan daya saing industri sawit di pasar global.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 24 Oct 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 24 Okt 2024