Bagikan:
STARBANJAR- Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah mengkaji investasi aset kripto demi menggenjot target penerimaan pajak.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Neilmaldrin Noor mengkonfirmasi rencana tersebut tengah dalam tahap pengkajian.
Menurut Neilmaldrin, pengenaan pajak investasi kripto itu bakal masuk ke komponen Pajak Penghasilan (PPh). Pasalnya, ada keuntungan dari transaksi investasi yang tengah ramai di kalangan masyarakat itu.
“Pemajakan cryptocurrency masih dalam pembahasan dan kajian. Namun demikian, yang perlu kita ketahui bersama bahwa dalam ketentuan perpajakan, apabila ada capital gain yg dihasilkan dari sebuah transaksi keuntungan itu objek PPh,” kata Neilmaldrin dikutip dari TrenAsia, partner resmi Starbanjar.com.
DJP memandang aset kripto telah legal diperdagangkan sebagai komoditas. Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyebut kripto sebagai aset, bukan lagi alat pembayaran yang sah.
“Aset kripto saat ini merupakan jenis komoditi, bukan sebagai alat pembayaran yang sah,” kata OJK dalam akun Instagram resminya, selasa 11 Mei 2021.
Instrumen ini tengah mendapatkan atensi luar biasa dari masyarakat Indonesia. Menurut data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), jumlah investor aset kripto sudah mencapai 4,2 juta orang pada Februari 2021.
Pertumbuhan pesat investor kripto Indonesia telah melampaui jumlah investor ritel saham. Menurut data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode yang sama, jumlah investor ritel hanya mencapai 2 juta orang.
Sebanyak 4,2 juta orang investor ritel itu harus melaporkan transaksinya bila pengenaan pajak ini resmi diterapkan. Namun, Neilmaldrin belum mau mengungkap besaran dan waktu pemungutan pajak aset kripto ini.
Kajian mengenai pajak aset kripto tidak hanya sebatas komponen PPh saja. Neilmaldrin menyebut memasukkan kajian apakah transaksi aset kripto ini bisa dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sejalan dengan pertumbuhan jumlah investor, pergerakan aset kripto pun sangat agresif. Mata uang kripto bernama SHIBA INU mencatatkan kenaikan harga 706,32% hingga penutupan perdagangan pekan lalu.
Kenaikan itu juga diikuti oleh pertumbuhan aset Bitcoin Diamond, Telcoin, dan Ethereum Classic yang masing-masing tumbuh 312,41%, 248,20%, dan 173,38% hanya dalam waktu sepekan.
Sementara itu, Chairman Asosiasi Blockchain Indonesia Oham Sunggio mengatakan Perkembangan regulasi aset kripto, kata Oham, masih sangat abu-abu pada 2017 atau awal wave kripto di Indonesia.
“Pada 2017 masih abu-abu, belum ada kepemilikan aset kripto. Boro-boro dipajakin, dulu dimiliki aja dilarang untuk alat pembayaran,” kata Oham dalam Webinar ‘Lapor Pajak Bitcoin, Emang Perlu? – Kupas tuntas cara mengatur pajak dan legalitas aset kripto’ yang dilansir, Selasa 11 Mei 2021.
Untuk diketahui, regulasi soal aset kripto baru muncul pada 2019 silam. Ketentuan itu termaktub dalam Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, yang terakhir kali diubah oleh Peraturan Bappebti No. 3 Tahun 2020.
Perkembangan berikutnya, Oham menyebut sudah ada langkah konkrit dari Bappebti untuk menjaga perlindungan konsumen dari aset kripto. Namun, Oham menyebut regulasi khusus untuk pajak kripto masih belum ada.
Oham menyebut perkembangan aset kripto perlu diregulasi dari segi perpajakan untuk memperkuat aspek perlindungan konsumen. Oham mendorong pengaturan pajak ini tidak dapat memberatkan para investor.
“Bagaimana supaya mereka (investor) tidak keberatan sama sekali, apalagi banyak juga investor yang berdarah-darah,” terang Oham.