Bagikan:
JAKARTA - Pemerintah RI diketahui terus menggencarkan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), hal ini utamanya guna mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar minyak (BBM) yang semakin lama bisa semakin membebani anggaran negara.
Namun bicara soal kendaraan listrik tentunya tak bisa lepas dari sumber energinya yakni baterai. Saking pentingnya peran baterai, harga sebuah kendaraan listrik bergantung pada kualitas dan kapasitas baterai yang ditawarkan.
Baterai litium dan litium-ion telah digembar-gemborkan sebagai penyelamat lingkungan. Teknologi yang memungkinkan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang intensif karbon dan beralih ke kendaraan listrik ( EV ).
Agar mobil listrik dapat dijual, produsen harus mematuhi peraturan desain tertentu dan sebagian besar fitur tersebut harus memastikan bahwa kendaraan mereka cukup aman bagi pengemudi. Namun, sumber daya kendaraan listrik menghadirkan risiko bahaya dan produsen tengah mengembangkan fitur keselamatan yang sesuai untuk mengurangi risiko tersebut.
Baterai lithium-ion mudah terbakar dan dapat menimbulkan kebakaran, Baterai ini memiliki sel daya yang dapat menyebabkan korsleting jika rusak. Namun, baterai lithium-ion memiliki risiko ledakan api yang jauh lebih rendah daripada bensin pada kendaraan konvensional.
Melansir laman KIA Selasa 8 Oktober 2024, untuk mencegah kerusakan eksternal atau korsleting, baterai kendaraan listrik biasanya dikelilingi oleh selubung pendingin yang diisi dengan cairan pendingin.
Apa yang perlu diperhatikan agar baterai lithium pada kendaraan listrik tidak bahaya?
Baterai lithium-ion memiliki jangkauan operasi yang jauh lebih sempit sekitar 15 hingga 45 derajat celcius. Sementara kendaraan standar modern dirancang untuk beroperasi pada suhu mulai dari minus 30 derajat hingga di atas 50 derajat celcius. Tetap berada dalam rentang suhu tertentu sangatlah penting. Dengan memanfaatkan cairan atau udara, manajemen dan pemantauan pendinginan sangat disarankan demi keselamatan baterai, kendaraan, dan penumpang.
Salah satu masalah pada baterai lithium adalah thermal runaway. Mengandung elektrolit cair yang mudah terbakar ketika sel mengalami hubungan arus pendek, elektrolit dapat terbakar dan tekanan akan meningkat dengan cepat.
Thermal runaway adalah reaksi berantai yang tidak dapat dihentikan yang menyebabkan kebakaran pada suhu 60 ke atas. Produsen merancang beberapa cara untuk mencegah dan mengurangi dampak thermal runaway pada mobil listrik.
Baterai lithium-ion memerlukan banyak energi dan bahan baku dalam proses produksinya, sehingga secara tidak langsung tetap memicu emisi karbon. Limbah baterai bekas juga dapat mencemari lingkungan dan berbahaya untuk kesehatan manusia
Melansir Geenly Institute, manfaat lingkungan dari baterai litium disertai dengan biaya tersembunyi yang besar. Ekstraksi dan pemrosesan litium dan logam tanah jarang lainnya yang diperlukan untuk baterai ini memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Seiring dengan meningkatnya permintaan baterai ini, skala dampaknya pun meningkat.
Penambangan litium khusunya metode penambangan terbuka akan menyebabkan degradasi lagan yang luas. Lahan yang luas ditebang untuk dijadikan lokasi operasi penambangan, merusak habitat dan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati secara signifikan.
Di Australia Barat misalnya, perluasan tambang litium Greenbushes telah menimbulkan kontroversi. Hal ini melibatkan penebangan sekitar 350 hektare vegetasi asli yang memengaruhi beberapa spesies yang terancam. Mereka termasuk kakatua hitam dan possum ekor cincin Barat.
Selain itu, salah satu masalah lingkungan paling kritis yang terkait dengan ekstraksi litium adalah penggunaan air. Produksi satu ton litium membutuhkan sekitar 2,2 juta liter air yang mengalihkan sumber daya air yang langka dari pertanian lokal dan masyarakat adat. Proses ekstraksi juga menyebabkan degradasi tanah, sehingga tidak cocok untuk vegetasi dan mengganggu ekosistem lokal.
Selain itu, proses ekstraksi dapat menyebabkan pencemaran air. Misalnya, pada tahun 2009 , sebuah proyek penambangan litium yang berlokasi di China, yang dikenal sebagai tambang Litium Ganzizhou Rongda, disalahkan karena membocorkan bahan kimia beracun ke Sungai Liqi yang mengalir melalui Tibet.
Penduduk desa di daerah tersebut menuduh fasilitas tersebut meracuni air, yang mengakibatkan kematian sejumlah besar ikan, merusak padang rumput suci, dan bahkan membunuh ratusan yak yang kebetulan minum dari air sungai tersebut.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 08 Oct 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 10 Okt 2024