Bagikan:
JAKARTA — Eks Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD, meyakini bahwa praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terjadi sekarang lebih besar dan banyak dibandingkan era orde baru.
Pada acara Indonesia Integrity Forum 2024 pada 10 Oktober 2024, Mahfud menyebutkan perbedaan yang terjadi di masa orde baru dan kondisi sekarang.
“Saya yakin KKN saat ini sangat jauh lebih besar dibandingkan orde baru, karena jaringan ada dari atas kebawah, dari tengah ke kanan dan samping, besarnya luar biasa,” ucapnya.
Menurutnya, KKN yang terjadi di setiap lapisan ini mengatasnamakan demokrasi. Dalam kondisi yang ada, demokrasi menjadi diperdagangkan.
Konsisten dengan apa yang sudah diucapkannya, mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga pernah mengatakan hal serupa pada tahun 2021 dalam acara dialog dengan Menkopolhukam dan Pimpinan Kampus Yogyakarta yang dilaksanakan di Universitas Gadjah Mada. Ia menjelaskan KKN pada era sekarang tidak dilihat dari berapa banyak jumlah uang yang dikorupsi, namun melihat bagaimana korupsi sangat meluas.
“Bapak ingat tidak bahwa dulu di masa orde baru korupsi dilakukan secara terkoordinasi, namun tidak dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pejabat dan penegak hukumlah yang melakukan korupsi,” ucapnya pada Juni 2021.
Dalam disertasi yang ditulis oleh Mahfud di tahun 1993, ia mengungkapkan dulu korupsi dilakukan dengan terkoordinir dengan pemerintah membangun korporatisme sehingga semua institusi memiliki organisasinya sendiri. Seperti petani dan pedagang juga memiliki organisasi.
Dengan berkaca pada era sekarang, Mahfud memaparkan bagaimana kondisi korupsi sekarang dilakukan secara individu, ia mengatakan “Coba bapak lihat DPR, Mahkamah Agung (MA), MK hakimnya korupsi, kepala daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga korupsi sendiri,” tandasnya.
Kejadian ini dilakukan atas nama demokrasi, setelah orde baru tumbang dan sesudah demokrasi semua bebas untuk melakukan apa saja. Pemerintah tidak boleh ikut campur, sehingga korupsi semakin meluas.
Mantan calon Wakil Presiden nomor urut 2 itu menjelaskan akan sangat sulit untuk memperbaiki kondisi demokrasi di Indonesia. “Kita berharap untuk perbaiki DPR tetapi mereka tidak mau melakukannya, setiap diberikan perbaikan tetapi mereka selalu menolak karena merugikan mereka sendiri. Itulah yang terjadi akibat patronase, persoalan yang kita hadapi, Indonesia itu aneh. Reformasi dengan tujuan demokratisasi biar KKN hilang malah muncul lagi,” tegasnya.
Di bawah rezim Orde Baru, struktur kekuasaan sangat terpusat pada Presiden Soeharto. Praktik KKN merajalela di semua level pemerintahan, didukung oleh kontrol ketat terhadap media dan pengawasan yang minim. KKN bukan hanya menjadi budaya politik, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi publik. Artikel tersebut menyoroti bahwa kondisi ini berkontribusi pada hilangnya kepercayaan investor, yang melihat Indonesia sebagai lingkungan yang berisiko tinggi untuk berinvestasi.
Pasca-reformasi 1998, Indonesia mengalami perubahan struktural yang signifikan. Desentralisasi kekuasaan memberikan ruang bagi pemerintah daerah, sementara lembaga-lembaga anti-korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), didirikan untuk melawan praktik KKN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas juga meningkat, dengan banyak gerakan sosial yang aktif menuntut perubahan.
Seperti yang diuraikan dalam artikel tersebut, meskipun KKN masih menjadi tantangan, ada kemajuan dalam pelaporan dan pengawasan. Masyarakat kini lebih berani melaporkan kasus korupsi, berkat kemajuan teknologi dan akses ke platform digital. Ini menunjukkan pergeseran signifikan dalam budaya politik, di mana keterlibatan masyarakat dalam menuntut pemerintahan yang bersih semakin kuat.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Ilyas Maulana Firdaus pada 12 Oct 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 16 Okt 2024