starbanjar.com
Presiden Rusia Vladimir Putin
Presiden Rusia Vladimir Putin

Rusia Tak Kunjung Bangkrut Meski Sedang Berperang, Ini Rahasianya

Redaksi Starbanjar
19.2.2024

STARBANJAR - Sudah dua tahun Rusia melakukan Invasi ke negara tetangganya, Ukraina. Namun, ekonomi negeri tirai bambu ini tak tampak menunjukkan kelamahan. Bahkan, Rusia mengklaim bahwa negaranya kini semakin kuat meski dana perang yang digelontorkan semakin banyak.

Perekonomian Rusia pada masa perang sedang bahkan diklaim semakin berkembang pesat. Kondisi ini tentunya  berlawanan dengan intuisi.  Namun rupanya, pertumbuhan PDB umum bukanlah hal yang aneh di masa konflik.

Meskipun klaim kemajuan ekonomi Rusia di Tengah Perang menimbulkan keraguan terkait keakuratan dan kelengkapan data ekonomi yang dirilis Rusia selama dua tahun terakhir, nyatanya hingga saat ini Negeri Beruang merah siap untuk terus mendanai perangnya untuk tahun ketiga. Padahal, perang memerlukan biaya yang mahal.

“Dari sudut pandang ekonomi murni, Rusia memiliki ruang yang cukup besar untuk terus mengobarkan perang,” Hassan Malik, ahli strategi makro global dan pakar Rusia di perusahaan manajemen investasi Loomis Sayles sebagaimana dikutip dari  Insider Senin, 19 Februari 2024.

Sebelum melancarkan invasinya ke Ukraina,  Rusia sempat terkena sanksi sebelum akhirnya terbebas dari sanksi sejak tahun 2014. Adapun sanksi yang dijatuhkan kala itu adalah berupa pembatasan perdagangan setelah secara ilegal mencaplok Krimea dari Ukraina. Sanksi ini sempat melumpuhkan Rusia kala itu lantaran pendapatan negara masih ditopang oleh pendapatan dari penjualan minyak.

Lantas, mengapa saat ini Rusia masih berdiri perkasa meski sanksi yang dijatuhkan lebih berat ketimbang sebelumnya? Berikut penjelasannya.

1. Mengobarkan Perang di Luar Perbatasannya Sendiri

Salah satu alasan penting mengapa perekonomian Rusia masih terus berjalan adalah karena lokasi perang.

Sebagaimana diketahui, Perang sedang berlangsung sebagian besar wilayah Ukraina dan menghancurkan sebagian besar rumah, tempat usaha, dan peternakan di Ukraina.

"Sehingga dampak langsung terhadap kapasitas produktif dan rumah tangga Rusia relatif terbatas. Hal ini tentunya lebih memberi dampak ekonomi pada Ukraina dibanding Rusia,” kata Malik.

Menurut catatan statistik, pada tahun 2022, tahun pertama perang, perekonomian Rusia mengalami kontraksi sebesar 1,2%. Analis yang disurvei oleh Reuters memperkirakan PDB Rusia akan meningkat 3,1% pada tahun 2023. Rusia belum merilis pertumbuhan PDB setahun penuh untuk tahun 2023.

Sebagai perbandingan, PDB Ukraina anjlok 29,1% pada tahun 2022 dan bank sentral negara tersebut memperkirakan negara tersebut akan tumbuh sebesar 4,9% pada tahun 2023. Pihaknya belum merilis angka pertumbuhan resmi.

Dalam skenario di mana perang tidak terjadi di wilayah asal Anda, perang dapat menimbulkan guncangan permintaan yang besar, terutama untuk pasokan perang dan tenaga kerja, jelas Malik. Itulah yang terjadi di Rusia, perang meningkatkan perekonomian.

2. Naiknya Permintaan akan Barang dan Jasa pada Masa Perang

Permintaan akan barang dan jasa yang membuat perang tetap berjalan di Rusia meski perang tengah terjadi.

Militer Rusia membutuhkan pasokan fisik seperti senjata, amunisi, dan perban. Permintaan tersebut mendorong industri yang memproduksi barang-barang tersebut  di dalam negeri lantaran impor ke Rusia dibatasi karena sanksi.

Permintaan akan barang-barang militer begitu besar sehingga bahkan sebuah toko roti di Rusia tengah telah dilibatkan untuk membantu upaya perang.

Melawan perang juga membutuhkan tenaga kerja. Sebagaimana diketahui, Rusia menghadapi krisis demografi dengan penurunan populasi dan penurunan tingkat kesuburan bahkan sebelum perang dengan Ukraina.

Dengan dimulainya perang, hampir 1 juta orang Rusia, termasuk laki-laki usia wajib militer meninggalkan tanah air mereka, sehingga semakin menyusutkan jumlah tenaga kerja di negara tersebut.

Mobilisasi laki-laki yang dilakukan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin untuk perang menciptakan krisis tenaga kerja yang berlanjut sejak tahun 2022.

Tahun lalu, Rusia menghadapi kekurangan 5 juta pekerja karena lowongan tenaga kerja meningkat hampir 5% dibandingkan tahun lalu. Pada bulan November, Rusia mencatat tingkat pengangguran terendah sebesar 2,9%.

Akibat kekurangan tenaga kerja, upah meningkat yang akhirnya mendukung konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.

3.  Produksi Senjata dan Komoditas Secara Mandiri

Rusia merupakan negara dengan perekonomian global yang besar atau terbesar kedelapan di dunia pada tahun 2022. Ini dicapai  lantaran posisinya yang kuat sebagai produsen komoditas seperti minyak, gas alam, gandum, dan logam.

Namun, tidak seperti banyak negara lainnya, Rusia juga mampu memproduksi komoditas penting seperti minyak, gas alam, dan gandum secara swasembada, sehingga membantu negara tersebut bertahan dari sanksi yang diterapkan selama bertahun-tahun.

“Meskipun sanksi-sanksi Barat dan pembatasan perdagangan tidak diragukan lagi mempunyai dampak kecil terhadap perekonomian Rusia, dampaknya sangat terbatas pada industri pertahanan Rusia yang sebagian besar bersifat autarkis,” kata Malik, mengacu pada perekonomian yang didasarkan pada swasembada dan perdagangan eksternal yang terbatas.

Sebagai salah satu eksportir senjata terbesar di dunia, Rusia juga dapat memasok sebagian besar kebutuhan pertahanannya, bahkan untuk senjata canggih, kata Malik.

Hal ini, bersamaan dengan langkah-langkah yang diterapkan Rusia untuk meningkatkan perekonomiannya seperti impor paralel , beralih ke pasar ekspor alternatif seperti Tiongkok dan India, dan rantai pasokan baru semakin melemahkan dampak sanksi Barat terhadap industri pertahanan Rusia dan perekonomian masa perang.

4. Beri Stimulasi Ekonomi Lewat Subsidi dan Kebijakan

Subsidi, belanja, dan kebijakan pemerintah juga menopang perekonomian Rusia. Upaya Moskow untuk menopang perekonomiannya pada masa perang begitu agresif sehingga subsidi untuk hipotek dengan potongan harga telah menciptakan gelembung perumahan.

Pemerintah Rusia telah meluncurkan jenis pinjaman bersubsidi lainnya untuk dunia usaha, sehingga semakin merangsang permintaan dalam perekonomian.

Para pengambil kebijakan di Rusia juga mengambil tindakan cepat untuk menstabilkan pasar dan perekonomian setelah Moskow menginvasi Ukraina. Mereka mengambil langkah-langkah termasuk menutup Bursa Moskow selama berminggu-minggu, menerapkan kontrol modal, dan mengelola kebijakan moneter.

5. Menjaga Utang Luar Negeri Tetap Rendah dan Ekspor Tetap Kuat

Rusia memasuki perang ini dengan utang luar negeri yang sedikit dan transaksi berjalannya mengalami surplus. Hal ini sebagian disebabkan oleh dampak perang terhadap harga komoditas.

“Perkembangan seperti ini sangat mengkompensasi langkah-langkah Barat seperti pembekuan cadangan bank sentral, ” kata Malik.

Rusia berhasil mengalokasikan hampir sepertiga anggaran tahun 2024 untuk belanja pertahanan, meskipun negara tersebut telah terkena sanksi.

Malik bukan satu-satunya yang berpikir Rusia punya ruang untuk berperang lebih lama.

Selama setahun terakhir, para ahli termasuk mantan wakil menteri keuangan Rusia di pengasingan dan beberapa ekonom mengatakan Rusia memiliki uang untuk mendanai perangnya di Ukraina selama beberapa tahun.

Alex Isakov, ekonom di Bloomberg Economics mengatakan dalam sebuah laporan pada 17 Januari bahwa aset likuid dana kekayaan nasional Rusia akan bertahan selama satu atau dua tahun lagi jika harga ekspor minyak negara itu turun di bawah US$50 per barel.

Harga rata-rata minyak mentah andalan Rusia, Ural, adalah sekitar US$63 per barel pada tahun 2023.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Rizky C. Septania pada 19 Feb 2024