starbanjar.com
Pertamina 2.jpeg

Tak Lagi Bergantung Energi Fosil, Berikut Sederet Energi Hijau Lini Bisnis Pertamina

Ahmad Husaini
28.11.2022

STARBANJAR - Perusahaan energi plat merah PT Pertamina (Persero) tengah melakukan transformasi menuju bisnis hijau. Melalui anak usahanya di subholding upstream, refinery & petro chemical, commercial & trading, gas, integrated marine & logistics serta power & new renewable energy, perlahan perusahaan pelat merah ini mengeksekusi inisiatif dekarbonisasi. 

PT Pertamina Power Indonesia, subholding yang bergerak di eksplorasi dan produksi sumber energi baru dan terbarukan (EBT) secara terintegrasi diposisikan sebagai motor yang menggerakan subholding lainnya menuju bisnis karbon yang lebih rendah.

Senior Vice President Corporate Finance Pertamina Bagus Agung Rahadiansyah mengatakan, ke depan perusahaan akan fokus menggarap enam sektor, yakni biofuel, energi baru terbarukan, teknologi penangkapan, utilisasi, dan penyimpanan karbon atau carbon capture, utilization  and storage (CCS/CCUS), hidrogen, bisnis karbon serta baterai dan kendaraan listrik.

“Perlahan, sumber pendapatan kami akan kami alihkan dari saat ini 86% minyak fosil, 9% petrokimia dan sisanya 5% bisnis hijau, menjadi 30% minyak fosil, 25% petrokimia dan 35% bisnis hijau di 2060,” kata Bagus dilansir dari trenasia, Senin (28/11/2022).

Ditambahkan, saat ini perusahaan telah menggandeng banyak mitra untuk mematangkan eksekusi di 6 sektor bisnis baru tersebut. Mulai dari sektor baterai dan kendaraan listrik dengan menggandeng Foxconn, Gogoro, LG, Electrum, Hyundai, CATL, CBL, Grab, Gojek.

Lalu di bisnis LNG bersih menggandeng Inpex. Juga menggandeng Perhutani dan PTPN di bisnis solusi berbasis alam, PLN, Jababeka dan Pupuk Indonesia di bisnis klaster industrial hijau. Ada juga Mitsui, Chiyoda, Jogmec, Japex, Air Liquide, Japan Gasoline Co Ltd, Chevron, ExxonMobil sebagai mitra bisnis CCUS. 

“Di bisnis hidrogen, ada mitra bisnis Marubeni, Mitsubishi, Fortescue Future Industries, RusHydro dan Acwa Power," tambah Bagus.

Perusahaan menaksir akan membutuhkan belanja modal hingga US$80 miliar setara Rp1.257 triliun hingga 2 tahun mendatang untuk membangun bisnis refinery, petrokimia dan hulu yang lebih hijau. 

Beruntungnya, perusahaan mulai konsisten mengimplementasikan ESG sehingga peluang untuk menangkap aliran investasi dari global pun kian terbuka lebar. 

“Keuntungan kita implementasi ESG dan punya score ESG yang terus membaik adalah kita bisa mengakses pool dana dari lembaga maupun investor luar internasional,” kata Bagus.