Bagikan:
STARBANJAR - PT PLN (Persero) menyebut biaya untuk mengejar target pembangunan pada pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan atau EBT dan juga kas beserta transmisinya mencapai US$152 miliar atau Rp2.300 triliun hingga 2040.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, mengatakan total pembangkit yang dibangun mencakup 30 gigawatt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau geothermal. Lalu, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 28 GW.
"Price tag-nya, dihitung kemarin sekitar USD 152 billion. Jadi kalau dikalikan Rp 15.000, sekitar Rp 2.300 triliun antara hari ini sampai 2040," ujar Darmawan dalam acara Road to PLN Investmen Days 2024 dilansir Kamis, 7 Maret 2024.
Darmawan mengakui investasi ini tidak bisa ditopang oleh PLN saja. Berdasarkan arahan pemerintah, butuh campur tangan pihak swasta dengan porsi yang lebih besar.
Menurut Bos PLN ini semakin banyak membangkit EBT yang terbangun maka diperlukan pula transmisi baru, pasalnya sumber EBT dengan lokasi permintaan listrik seringkali berjauhan atau tidak dekat.
Salah satunya yang dicontohkan Darmo adalah adanya potensi PLTA Jumbo di Aceh. Namun sayangnya potensi permintaan mayoritas saat ini masih ada di pulau Jawa seperti DKI Jakarta dan sekitar kawasan industri lainnya.
PLN kedepannya akan membangun transmisi dalam skala yang besar atau dinamakan green enabling transmission di mana jaraknya bisa mencapai 3500 km.
Adapun, PT PLN (Persero) saat ini tengah melakukan pembahasan terkait revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Adapun perubahan RUPTL yang baru ini diperkirakan sampai dengan tahun 2040.
Setidaknya hingga 2040 mendatang, akan ada penambahan kapasitas pembangkit listrik hingga 80 Giga Watt (GW). Dengan rincian yakni 75% berasal dari pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) dan 25% berasal dari pembangkit berbasis gas.
Meski Darmawan menyebut biaya untuk mengejar target pembangunan pada pembangkit berbasis Energi Baru Terbarukan atau EBT dan juga kas beserta transmisinya mencapai US$152 miliar atau Rp2.300 triliun hingga 2040.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae mengatakan, penyaluran kredit EBT mungkin dihadapi oleh industri perbankan.
Pertama, risiko proyek menjadi salah satu tantangan utama. Investasi dalam proyek EBT seringkali melibatkan risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan proyek-proyek konvensional.
Faktor-faktor seperti ketidakpastian persediaan bahan tambang dan risiko bencana alam dapat meningkatkan risiko proyek secara signifikan.
Kedua, kurangnya data dan pengalaman menjadi hal yang perlu diatasi. Data yang terkait dengan EBT masih terbatas, dan industri perbankan masih memerlukan lebih banyak pengalaman dalam menilai risiko kredit yang terkait dengan proyek EBT.
Tantangan ketiga yang dihadapi oleh industri perbankan adalah pembiayaan jangka panjang. Proyek-proyek EBT memerlukan pembiayaan dengan tenor yang cukup panjang, dan tidak semua bank memiliki likuiditas yang sesuai untuk memberikan kredit dengan tenor jangka panjang.
Oleh karena itu, OJK terus mendorong industri perbankan untuk mengatasi tantangan ini agar lebih aktif dalam menyalurkan kredit ke sektor EBT, yang pada akhirnya akan mempercepat transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 07 Mar 2024